Kekacauan buku Meretas Sejarah Visual

Sebagai buku acuan bagi mahasiswa, Meretas Sejarah Visual banyak kelemahannya.

Ilustrasi kamera film. /Pixabay.

Buku Meretas Sejarah Visual (2015) menjadi rujukan bagi mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Penulisnya Reiza D. Dienaputra, seorang Doktor dari Sekolah Pascasarjana Institut Teknologi Bandung (2011). Saat ini, dia adalah guru besar dan staf pengajar di Jurusan Ilmu Sejarah, Universitas Padjadjaran.

Buku ini memang memiliki tujuan mulia. Penulisnya menekankan, sumber sejarah tak hanya tulisan. Dia berharap, ilmu sejarah bisa mengikuti perkembangan zaman, menjadi relevan dan ramah teknologi. Dengan begitu, diharapkan menambah perspektif baru terhadap historiografi Indonesia.

Namun sayangnya, di sana-sini buku terbitan Balatin tersebut memiliki kelemahan. Baik yang sifatnya remeh-temeh, seperti estetika sampul hingga penulisan referensi. Penulisan referensi www.google.com, 16 Maret 2015 tentu sangat aneh. Di seluruh dunia, barangkali dalam sehari, ada setidaknya satu miliar orang yang masuk ke Google.

Dengan begitu, data apa yang mau diambil? Penulisnya siapa? Tahun berapa? Judulnya apa? Diambil dari situs apa? Diunggah atau dibaca kapan?

Meretas Sejarah Visual memberikan definisi yang luas, sayangnya isi buku tak mencerminkan definisi yang luas itu. Penulisnya mendefinisikan sejarah visual sebagai sejarah yang dapat dilihat dengan indera penglihatan atau peristiwa-peristiwa sejarah yang dapat dilihat dengan mata, yang menempatkan manusia sebagai aktor sejarah […] dapat dipahami sebagai kegiatan pembuatan sumber visual, sebagai metode penelitian sejarah dan sebagai produk rekonstruksi sejarah dari peristiwa sejarah menjadi sebuah kisah (Dienaputra, 2015: 12).