Apa yang kita mimpikan erat kaitannya dengan tempat tinggal atau budaya setempat yang jadi tradisi turun-temurun.
Bayangkan dunia yang hanya kamu kunjungi saat mata terpejam. Sebuah lanskap tanpa batas, tempat logika jungkir balik. Satu menit kamu berjalan di hamparan padang bunga, menit berikutnya jatuh bebas dari tebing. Gigi tiba-tiba rontok tanpa alasan, atau seekor ular muncul begitu saja dari sudut mata.
Kita menghabiskan sepertiga hidup untuk tidur. Artinya, ada begitu banyak waktu bagi otak menciptakan jagat paralel: dunia mimpi. Tapi pertanyaannya, apakah mimpi sekadar bunga tidur, atau menyimpan makna yang lebih dalam? Jawabannya, ternyata bergantung pada siapa yang ditanya.
“Kalau kamu paham apa yang diyakini satu kelompok tentang mimpi, berarti kamu memahami kebudayaannya,” kata Robin Sheriff, antropolog di University of New Hampshire, seperti dikutip dari National Geography, Sabtu (23/8).
Dalam berbagai catatan sejarah, mimpi sering dianggap jendela menuju yang gaib. Di era Romawi kuno, misalnya, mimpi dipercaya sebagai pesan dari para dewa. Tafsir mimpi bahkan ikut mempengaruhi keputusan politik para kaisar.
Praktik serupa hidup di Tiongkok pada era Dinasti Zhou (1046–256 SM). Menurut peneliti budaya Hong, tafsir mimpi—atau oneiromansi—pernah jadi panduan dalam hal asmara, kesehatan, hingga strategi pemerintahan. Namun, pengaruhnya meredup seiring runtuhnya kekaisaran di awal abad ke-20.