Lapar: Mengambil alih akal sehat

Untuk meredam rasa lapar, ia menghisap dan menggigiti potongan kayu dan memuntahkan makanan yang telah masuk ke mulutnya.

Ilustrasi lapar./ Pixabay

Lapar berkisah tentang seorang pemuda yang bermimpi menjadi penulis, namun rela kelaparan, menjadi miskin, dan menggelandang di kota Kristiania (sekarang Oslo). Semua itu dilakukan hanya karena artikel yang ditulisnya tak kunjung selesai, dan ia tak memiliki cukup banyak uang untuk membayar sewa kamar serta membeli makanan. Untuk mendapatkan uang, tokoh ‘aku’ rela menggadaikan barang-barang miliknya ke tukang lelang yang disebutnya “Paman.”

Ketika ia berkeliling Kota Kristiania, ia menghisap dan menggigiti potongan kayu di mulutnya untuk mengurangi rasa laparnya dan memuntahkan makanan yang telah masuk ke mulutnya. Hamsun tak memberikan petunjuk soal identitas tokoh utamanya. Tokoh aku eksis tanpa nama, masa lalu, ataupun petunjuk lainnya.

Dalam keadaan kelaparan, tokoh aku terus berdelusi soal bakat artistik dan kehormatan dirinya. ‘Aku’ menaruh batas moral diri yang tinggi pada dirinya. Lapar mengikuti tokoh aku yang berkelana di kota. Ia kelaparan hingga histeris, tetapi, ia mudah tersentuh pada orang-orang yang menderita seperti dirinya.

Dengan patokan moral yang tinggi, pantang baginya untuk mencuri ataupun menggadaikan selimut yang dipinjamkan kepadanya. Ketika mendapatkan uang, ia memberikan uang tersebut kepada orang lain tanpa memedulikan dirinya yang sedang kelaparan.

Dalam konteks saat ini, kita bisa melihat tokoh aku tak ubahnya seperti seorang masokis yang senang menyiksa dan menghancurkan dirinya sendiri. Laku penghancuran diri ini dituliskan oleh Hamsun melalui sikap narator yang berpegang pada prinsipnya dan kelaparan itu sendiri yang perlahan mengambil alih akal sehatnya.