Orang yang tinggal di daratan tinggi juga berisiko mengalami depresi.
Penelitian yang diterbitkan di jurnal Neuroscience (Februari, 2025) menemukan, paparan jangka panjang terhadap kondisi dataran tinggi bisa memperlambat cara orang mengenali wajah dan mengubah cara otak memproses emosi.
Penelitian itu membandingkan orang dewasa muda yang tinggal di dataran tinggi dengan mereka yang tinggal di dataran rendah. Satu kelompok terdiri dari 22 mahasiswa dari Universitas Tibet, yang terletak di ketinggian 3.658 meter di atas permukaan laut. Seluruh mahasiswa itu tumbuh di dataran rendah dan tinggal di dekat universitas itu selama lebih dari dua tahun.
Kelompok kedua terdiri dari 2 mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi di Beijing, China—sebuah kota di dataran rendah 52 meter di atas permukaan laut. Para mahasiswa tersebut belum pernah ke daerah dataran tinggi.
Semua peserta punya penglihatan normal, tidak kidal, tidak punya riwayat gangguan neurologis atau psikiatris, tidak mengonsumsi obat apa pun, dan punya gaya hidup yang teratur.
Para peserta diperlihatkan gambar wajah yang menunjukkan emosi berbeda, seperti senang, marah, dan netral. Wajah-wajah ini dipilih dari sistem ekspresi wajah Tiongkok yang terstandardisasi. Lalu, mereka diminta mengidentifikasi jenis kelamin orang dalam setiap gambar dengan cepat dan akurat, menggunakan tombol.