

Orang yang tinggal di dataran tinggi lambat mengenali fitur wajah

Penelitian yang diterbitkan di jurnal Neuroscience (Februari, 2025) menemukan, paparan jangka panjang terhadap kondisi dataran tinggi bisa memperlambat cara orang mengenali wajah dan mengubah cara otak memproses emosi.
Penelitian itu membandingkan orang dewasa muda yang tinggal di dataran tinggi dengan mereka yang tinggal di dataran rendah. Satu kelompok terdiri dari 22 mahasiswa dari Universitas Tibet, yang terletak di ketinggian 3.658 meter di atas permukaan laut. Seluruh mahasiswa itu tumbuh di dataran rendah dan tinggal di dekat universitas itu selama lebih dari dua tahun.
Kelompok kedua terdiri dari 2 mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi di Beijing, China—sebuah kota di dataran rendah 52 meter di atas permukaan laut. Para mahasiswa tersebut belum pernah ke daerah dataran tinggi.
Semua peserta punya penglihatan normal, tidak kidal, tidak punya riwayat gangguan neurologis atau psikiatris, tidak mengonsumsi obat apa pun, dan punya gaya hidup yang teratur.
Para peserta diperlihatkan gambar wajah yang menunjukkan emosi berbeda, seperti senang, marah, dan netral. Wajah-wajah ini dipilih dari sistem ekspresi wajah Tiongkok yang terstandardisasi. Lalu, mereka diminta mengidentifikasi jenis kelamin orang dalam setiap gambar dengan cepat dan akurat, menggunakan tombol.
Saat peserta melakukan tugas itu, aktivitas otak mereka direkam menggunakan elektroensefalografi—sebuah teknik yang mengukur aktivitas listrik di otak lewat sensor yang dipasang di kulit kepala. Metode ini memungkinkan peneliti melacak gelombang otak yang terkait dengan berbagai tahap pemrosesan wajah.
Para peneliti tertarik dengan dua komponen gelombang otak tertentu, yakni P1 dan N170. P1 terjadi sekitar 100 milidetik setelah melihat wajah, sedangkan N170 terjadi sekitar 170 milidetik setelah melihat wajah. Komponen-komponen ini diketahui terkait dengan perhatian visual awal terhadap wajah dan pengodean struktural fitur wajah.
“Hasil penelitian mengungkap, meski kedua kelompok sama-sama akurat dalam mengidentiikasi jenis kelamin wajah (seseorang), kelompok yang tinggal di dataran tinggi memiliki waktu reaksi yang lebih lambat dibandingkan dengan kelompok yang tinggal di dataran rendah,” tulis Psy Post.
“Hal ini menunjukkan, tinggal di dataran tinggi memperlambat proses pengenalan fitur wajah, meskipun tidak memengaruhi akurasi.”
Para peneliti menemukan, kelompok dataran tinggi menunjukkan amplitudo yang berkurang untuk komponen gelombang otak P1 dan N170 dibandingkan dengan kelompok dataran rendah. Artinya, aktivitas otak yang terkait dengan perhatian visual awal terhadap wajah (P1) dan pengodean struktural fitur wajah (N170) lebih lemah pada kelompok dataran tinggi.
Menariknya, ketika meneliti komponen N170 secara lebih rinci, para peneliti menemukan perbedaan dalam cara kedua kelompok memproses emosi positif. Biasanya, orang menunjukkan bias positif dalam aktivitas otak mereka saat memproses wajah, terutama ekspresi bahagia.
Bias ini tercermin dalam respons N170 yang lebih besar terhadap wajah bahagia dibandingkan dengan wajah netral. Kelompok dari dataran rendah menunjukkan bias positif. Namun, bias positif ini berkurang secara signifikan apda kelompok dataran tinggi.
“Dengan kata lain, otak individu di dataran tinggi tidak menunjukkan respons positif yang kuat terhadap wajah bahagia dibandingkan dengan wajah netral seperti mereka yang tinggal di dataran rendah,” tulis Psy Post.
Yang paling penting dari penelitian ini, menurut Psy Post, penurunan bias positif dalam respons N170 terhadap ekspresi wajah bahagia bisa memberikan penjelasan saraf untuk peningkatan risiko depresi di dataran tinggi. Penurunan bias positif dapat berarti individu di dataran tinggi kurang peka terhadap isyarat emosional positif, yang dapat berkontribusi pada pandangan emosional yang lebih negatif dan berpotensi meningkatkan kerentanan terhadap depresi.
Penelitian sebelumnya dari para periset di Universitas Utah, yang dimuat di jurnal Harvard Review of Psychiatry (2018) menemukan, tekanan atmosfer yang rendah di dataran tinggi bisa menurunkan kadar oksigen dalam darah. Hal itu memengaruhi suasana hati dan membaut orang yang tinggal di dataran tinggi lebih rentan terhadap pemikiran untuk bunuh diri.
Dikutip dari Medical News Today, para peneliti menganalisis 12 penelitian yang melihat hubungan antara ketinggian dan bunuh diri atau gangguan depresi mayor.
Mereka menemukan, sebagian besar penelitian itu melaporkan ada kaitan antara tinggal di daerah yang lebih tinggi dengan peningkatan depresi, terutama keinginan bunuh diri. Penelitian ini menunjukkan, tingkat bunuh diri tertinggi terkonsentrasi di negara bagian pegunungan, seperti Arizona, Colorado, Idaho, Montana, Nevada, New Mexico, Utah, dan Wyoming.
Dalam penelitian lainnya yang diterbitkan di jurnal Pharmacology, Biochemistry and Behavior (2018), para peneliti dari Universitas Utah pun menemukan, tiga obat antidepresan umu, seperti Paxil (paroxetine), Lexapro (escitalopram), dan Prozac (fluoxetine) kurang efektif di dataran tinggi. Penelitian tersebut menggunakan tikus laboratorium.
“Berada di dataran tinggi dapat memperburuk tingkat depresi dan menurunkan respons terhadap SRRI (selective serotonin reuptake inhibitors)—kelompok obat untuk mengatasi gejala depresi,” ujar peneliti psikiatri dan penulis utama studi tersebut, Shami Kanekar, dikutip dari situs The University of Utah.


Tag Terkait
Berita Terkait
Mind blanking: Saat pikiran kosong sesaat
Memaafkan membuat kita lebih bahagia
Media sosial memperparah gangguan delusi
Floating duck syndrome: Ilusi mengejar kesempurnaan

