Orang dewasa yang hidup dalam kondisi ketidakamanan energi—yakni kesulitan membayar tagihan listrik atau menjaga suhu rumah tetap aman—dua kali lebih mungkin mengalami gejala kecemasan dan depresi dibanding mereka yang hidup tanpa masalah energi.
Demikian temuan utama riset yang dilakoni sejumlah peneliti dari Georgia Institute of Technology dan Case Western Reserve University yang baru saja di JAMA Network Open. Penelitian itu menganalisis hampir 1,14 juta tanggapan dari survei Household Pulse Survey milik Biro Sensus Amerika Serikat (AS).
Testimoni pelanggan dikumpulkan antara Desember 2022 hingga September 2024. Para peserta menjawab pertanyaan seputar keuangan rumah tangga, penggunaan energi, dan gejala kecemasan atau depresi melalui alat ukur PHQ-2 dan GAD-2.
Hasilnya mencemaskan: sebanyak 22% responden mengaku tidak mampu membayar tagihan energi secara penuh. Selain itu, sebanyak 22% lainnya sengaja membiarkan rumah berada pada suhu tidak aman demi menghemat biaya.
"Lebih dari sepertiga (34%) terpaksa mengurangi kebutuhan dasar—seperti makanan atau obat—untuk menutup biaya energi," tulis Michelle Graff dan Ther W. Aung, dua peneliti yang terlibat dalam riset itu, seperti dikutip dari JAMA Network, Jumat (31/10).
Setelah disesuaikan dengan faktor demografis, peneliti menemukan bahwa orang dewasa yang tidak aman secara energi memiliki 2,29 kali risiko lebih besar mengalami kecemasan dan 2,31 kali risiko lebih besar mengalami depresi dibanding mereka yang aman secara energi.
Bahkan ketika peneliti memasukkan faktor kesulitan lain—seperti kekurangan pangan atau ketidakstabilan tempat tinggal—ketidakamanan energi tetap muncul sebagai indikator kuat menurunnya kesehatan mental.
Para penulis studi menjelaskan, tekanan finansial, ketidaknyamanan fisik, dan pilihan yang menyakitkan antara “memanaskan rumah atau makan malam” dapat memicu stres kronis yang menggerogoti kesejahteraan mental.
Bantuan pemerintah memang ada, tapi sebagian besar difokuskan pada risiko kesehatan fisik. Akibatnya, banyak individu dengan luka mental yang tak kasatmata terabaikan.
"Hidup di rumah yang terlalu dingin atau terlalu panas tak hanya menimbulkan ketegangan tubuh, tapi juga rasa cemas dan tak berdaya," jelas para peneliti.
Dampak psikologis
Graff dan Aung meyakini dampak psikologis dari ketidakamanan energi mungkin setara—atau bahkan lebih parah—daripada bentuk kerentanan dasar lainnya, seperti kekurangan pangan atau perumahan.
Tim peneliti pun menyerukan agar ketidakamanan energi dimasukkan ke dalam indikator sosial penentu kesehatan (social determinants of health) dan menjadi bagian dari protokol skrining klinis di fasilitas kesehatan.
Mereka juga mendesak pemerintah untuk memperluas program bantuan energi, memperkuat perlindungan dari pemutusan listrik, dan meningkatkan efisiensi rumah tangga melalui program weatherization—terutama di tengah tekanan inflasi dan perubahan iklim.
“Pembuat kebijakan seharusnya mempertimbangkan ketidakamanan energi bersama dengan isu ketahanan pangan dan perumahan saat merancang program kesehatan mental dan dukungan sosial,” tulis para peneliti.
Dengan krisis iklim yang memacu suhu global dan kenaikan tagihan listrik, beban keluarga kini kian berat—terutama bagi rumah tangga berpenghasilan rendah. Lebih dari 40% orang dewasa di AS atau sekitar 81 juta jiwa, mengaku mengalami setidaknya satu bentuk "krisis" energi sepanjang tahun lalu.