Pandemi sebagai refleksi keadaan lingkungan yang kian rusak

Hari Lingkungan Hidup mengingatkan kita akan kondisi lingkungan hidup semakin kritis. Lantas, apa yang bisa kita lakukan?

Seniman tampil dengan balon merah dalam sebuah protes penghormatan untuk mereka yang meninggal dunia akibat penyakit virus korona (COVID-19) saat penyebaran penyakit tersebut di Brasilia, Brazil, Senin (1/6/2020). Foto Antara/Reuters/Adriano Machado/foc/cfo

Hari Lingkungan Hidup Sedunia rutin dirayakan setiap 5 Juni. Sesuai laman resmi World Environment Day, tema Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang diusung kali ini adalah “Time For Nature”. Momentum ini bertujuan mengajak seluruh penduduk dunia, untuk menyadari bahwa makanan yang dimakan, air yang diminum, dan ruang hidup di planet yang ditinggali, adalah sebaik-baiknya manfaat dari alam (nature) sehingga harus dijaga kelestariannya.

Aktivitas manusia yang semakin mengabaikan kepentingan lingkungan, akhirnya berimbas pada kehidupan manusia sendiri. Seperti perubahan iklim yang ekstrem, banjir bandang, kekeringan, bahkan pandemi.

"Pandemi Covid-19 kemungkinan merupakan efek global dari perusakan habitat alami yang terkombinasi dengan efek globalisasi,” kata Profesor di Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan di Politecnico di Milano Maria Cristina Rulli, kepada Mongabay India.

Perusakan lingkungan yang dilakukan secara masif telah membuat hewan ke luar dari habitat alaminya, yang kemudian menyebarkan virus dari hewan ke manusia (penyakit zoonosis).

Dilansir dari Undark, hubungan antara manusia dan hewan yang yang menularkan Covid-19 ini, telah menyebabkan pasar hewan hidup di China dilarang beroperasi, karena berisiko tinggi untuk penularan virus dari hewan liar terhadap manusia.