Ramai-ramai menutup media sosial pribadi

Sebab media sosial adalah candu. Puasa media sosial atau meninggalkannya sama sekali, dipercaya mampu menyehatkan mental.

Ilustrasi kecanduan media sosial./ Reuters

Usai dicampakkan kekasihnya, Daisy (23), perempuan asal Manchester, Inggris segera meninggalkan akun Facebook. Pasalnya, ia tak ingin terhubung atau mengetahui kabar apapun yang berkelindan dengan mantan kekasihnya itu. Setelah ‘puasa’ Facebook selama beberapa waktu, ia memutuskan untuk menghapus semua akun media sosial selamanya. Ia tak menggunakan Twitter, Instagram, atau platform lainnya.

Saat diwawancara Guardian, Daisy mengaku media sosial tak membawa pengaruh baik untuk hidupnya. Ia mudah dilanda kecemasan, cemburu, berujung depresi akibat pernah kecanduan media sosial.

“Saya melihat teman saya bepergian ke Australia atau Thailand. Kemudian menyaksikan mereka dengan pekerjaan bergaji tinggi, atau bahagia hidup dengan pasangannya. Lalu saya berpikir, bagaimana bisa mereka hidup di dunia mimpi. Sementara saya masih terjebak tinggal di rumah orang tua dan dipusingkan dengan utang pinjaman pendidikan yang masih menunggak,” keluhnya.

Hal senada dirasakan Syed Ali (19), pemuda Birmingham, Inggris yang juga diwawancara Guardian. Ia sengaja menghapus semua akun media sosialnya karena lelah mengikuti standar norma yang berlaku tak tertulis di jagat maya. “Saya tak mengerti, kenapa kita harus menunjukkan ke seluruh dunia, kita sedang bahagia, berada di luar negeri, berteman dengan siapa. Padahal hampir semua yang ada di dalamnya penuh kepalsuan," tuturnya.

Syed memang berbeda dengan Daisy yang rentan hati dengan segala fenomena di media sosial. Jika status di Facebook-nya hanya disukai lima temannya, Daisy segera menghapus status tersebut. Lain dengan Syed yang meninggalkan media sosial karena muak dengan realitas baru sarat kepalsuan, yang oleh filsuf Prancis Jean Baudrillard, disebut dengan hiperealitas.