close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi dua orang yang sibuk main ponsel./Foto natureaddict/Pixabay.com
icon caption
Ilustrasi dua orang yang sibuk main ponsel./Foto natureaddict/Pixabay.com
Sosial dan Gaya Hidup - Media Sosial
Senin, 20 Oktober 2025 17:00

Ponsel, media sosial, dan empati kita

Apakah ponsel dan media sosial ikut membunuh empati seseorang?
swipe

Meninggalnya seorang mahasiswa Universitas Udayana (Unud) Denpasar, Bali, Timothy Anugerah Saputra setelah terjatuh dari lantai 4 Gedung FISIP Unud pada Rabu (15/10) mengundang reaksi publik. Timothy diduga bunuh diri karena tekanan psikologis berat akibat perundungan.

Amarah publik memuncak setelah beredar tangkapan layar percakapan di sebuah grup WhatsApp yang menggambarkan korban sering dijadikan sasaran perundungan. Dalam tangkapan layar grup WhatsApp itu dan media sosial terlihat pula beberapa mahasiswa Unud justru nirempati, melecehkan kematian korban.

Lalu, apakah teknologi seperti ponsel pintar dan media sosial punya andil terhadap matinya empati beberapa mahasiswa itu?

Sosiolog di Massachusetts Institute of Technology (MIT) sekaligus penulis buku Reclaiming Conversation (2015) Sherry Turkle mengatakan, ponsel berpengaruh terhadap hubungan sosial. Dia mengatakan, percakapan langsung adalah hal paling manusiawi yang kita lakukan, sesuatu yang membaut kita benar-benar merasa menjadi manusia.

“Di sanalah empati lahir, di sanalah keintiman tumbuh—melalui kontak mata, nada suara, gerak tubuh, dan kehadiran orang lain,” kata Turkle kepada Greater Good Magazine.

“Di sanalah kita belajar memahami sesama.”

Menurut Turkle, saat seseorang menggunakan ponsel di tengah interaksi sosial, ada dua hal terjadi. Pertama, kualitas percakapan menurun karena orang cenderung hanya membicarakan hal-hal ringan. Kedua, rasa empati antarindividu ikut berkurang.

Selain itu, media sosial diduga sudah mengikis empati. Pada 2010 dalam penelitian meta-analisis terhadap 72 studi yang dilakukan antara 1979 dan 2009, diterbitkan di jurnal Personality and Social Psychology Review, para peneliti dari University of Michigan menemukan, tingkat empati mahasiswa Amerika Serikat telah menurun hingga 40%, yang menurut para peneliti terutama disebabkan maraknya media sosial.

Dalam temuan Pew Research Center tahun 2014 ditemukan, orang-orang kini lebih jarang berbicara secara langsung karena takut dihakimi.

“Mengapa? Media sosial telah membuat banyak orang menyadari betapa beragamnya pandangan yang ada di luar sana—dan banyak dari pandangan itu tidak ingin mereka hadapi secara langsung,” kata Direktur Pusat Kepemimpinan Berkelanjutan di Luiss Business School di Roma, Anthony Silard dalam Psychology Today.

Akan tetapi beberapa penelitian bertolak belakang soal media sosial menyebabkan nirempati. Dalam penelitian yang diterbitkan di Journal of Computer-Mediated Communication pada 2007 justru menemukan, orang menggunakan media sosial untuk melatih keterampilan sosial mereka dan menerapkannya dalam interaksi langsung.

Di sisi lain, penelitian lainnya tahun 2014 menemukan, menghabiskan waktu daring bsia mengurangi waktu yang dihabiskan dengan orang-orang di dunia nyata, yang bisa membuat keterampilan empati menjadi “berkarat”.

Psikolog sosial Alison Jane Martingano bersama rekan-rekannya di University of Indiana pernah melakukan penelitian terhadap lebih dari 1.250 orang Amerika Serikat untuk memahami hubungan antara empati dan penggunaan media sosial. Penelitian yang diterbitkan di jurnal Psychology of Popular Media pada 2022 itu menemukan, semakin sering seseorang menggunakan media sosial, maka semakin rendah tingkat empati mereka.

“Namun, ada satu pengecualian penting. Mereka yang lebih sering menggunakan media sosial justru lebih sering melaporkan perasaan tertekan pribadi saat menanggapi ekspresi emosi orang lain,” kata Martingano dalam Psychology Today.

“Jenis ‘empati’ ini dianggap kontroversial karena berbeda dari empati sejati—dia tidak mendorong seseorang untuk membantu, melainkan membuatnya ikut merasa tertekan.”

Selain itu, menurut Martingano, pengguna media sosial yang lebih aktif juga cenderung menunjukkan ciri-ciri narsisme dan alexithymia atau ketidakpekaan terhadap emosi sendiri—dua sifat ini sering dikaitkan dengan rendahnya empati.

Akan tetapi, penelitian di Inggris pada 2017, Spanyol pada 2017, dan Belanda pada 2016 justru menemukan, semakin sering seseorang menggunakan media sosial, justru semakin tinggi tingkat empatinya.

Lalu, Martingano dan koleganya membandingkan semua penelitian yang tersedia. Hasil meta-analisis menunjukkan, hubungan antara penggunaan media sosial dan empati tergantung pada dua faktor utama, yakni usia dan kebangsaan.

“Akhirnya, mungkin bukan seberapa lama seseorang menggunakan media sosial yang paling penting, tetapi mengapa dan bagaimana mereka menggunakannya,” ujar Martingano di Psychology Today.

”Motivasi di balik penggunaan media sosial bisa memberi tahu lebih banyak tentang karakter seseorang daripada sekadar jumlah waktu yang mereka habiskan secara daring.”

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan