Rasisme dan senja kala trem kuda di Batavia

Trem kuda tersingkir karena berbagai persoalan.

Ilustrasi rel trem. Alinea.id/Aisya Kurnia/Pixabay

Tio Tek Hong, seorang saudagar keturunan Tionghoa yang lahir di Pasar Baru, Batavia pada 1877, mengisahkan tentang trem kuda di buku Kenang-kenangan: Riwajat-hidup Saja dan Keadaan di Djakarta dari Tahun 1882 sampai Sekarang (1959), yang diterbitkan ulang dengan judul Keadaan Jakarta Tempo Doeloe: Sebuah Kenangan, 1882-1959 (2006).

Menurutnya, setiap lima menit lewat satu trem kuda, antara pukul 05.00 WIB hingga 20.00 WIB. Moda transportasi massa itu berbentuk satu gerbong kereta panjang, berjalan di atas rel, ditarik tiga hingga empat ekor kuda. Kusirnya menggunakan tanda dengan meniup terompet. Gerbongnya besar, bisa memuat 40 penumpang.

Setiap penumpang, kata Tek Hong, mendapat satu karcis yang dicap dengan nomor jalan. Jika ada orang yang hendak turun atau naik ke atas gerbong, petugas karcis akan membunyikan lonceng, sebagai tanda bagi kusir untuk mengerem trem menggunakan alat pemutar semacam kompas.

“Jika hendak turun, karcis harus dikembalikan kepada penjualnya (petugas),” kata Tek Hong dalam buku tersebut.

Ia mengatakan, trem kuda akan berjalan dari Kota Intan hingga ke Harmoni. Di Harmoni, jalur trem terbagi dua, yang satu menuju Tanah Abang, yang lainnya ke arah Pintu Air menuju Pasar Baru, Waterlooplein (Lapangan Banteng), Pasar Senen, Kramat, lantas ke Meester Cornelis (Jatinegara).