Slow living: Gaya hidup santai mengerem rutinitas

Gaya hidup slow living menekankan tentang melakukan segala sesuatu dengan kecepatan yang tepat.

Ilustrasi./Foto geralt/Pixabay.com

Dunia saat ini seakan bergerak sangat cepat. Setelah lelah beristirahat di malam hari, bangun tidur kita harus kembali bergegas pergi ke kantor, sekolah, atau aktivitas lainnya. Perjalanan dari rumah ke tempat beraktivitas pun ditempuh dengan perjuangan.

Jika naik kendaraan umum, seperti kereta atau bus, orang-orang saling berebut masuk dan keluar. Di dalam kereta atau bus yang melaju, saat jam-jam sibuk, mereka berdesak-desakan. Jika naik kendaraan pribadi, mobil atau sepeda motor, macet menjadi makanan sehari-hari. Lalu, seperti beradu balap bila jalanan agak longgar.

Kehidupan yang serba terburu-buru itu bisa berdampak buruk. Menurut American Psychological Association (APA), seperti dikutip dari Newsweek, menghadapi tekanan terus-menerus bisa menyebabkan stres kronis, masalah kesehatan fisik dan mental, termasuk depresi, kecemasan, masalah pencernaan, sakit kepala, tekanan darah tinggi, gangguan tidur, serta problem konsentrasi.

Akhirnya, alih-alih menghindar dari kehidupan yang serba kilat, sebagian orang menerapkan gaya hidup slow living—menjalani kehidupan dengan lambat dan santai.

Slow living berarti (hidup) melambat dan berpikir dua kali sebelum melakukan sesuatu,” ujar pendiri Strolling of the Heifers, Orly Munzing kepada HuffPost.