"Gelitik relatif kurang diteliti," kata ahli saraf Konstantina Kilteni.
Dua ribu tahun silam, filsuf Yunani Socrates menggambarkan sensasi yang dihasilkan dari gelitik sebagai sesuatu yang ambigu: ada unsur kesenangan dan rasa sakit. Pada 1872, naturalis dan biolog Inggris Charles Darwin menulis soal gelitik, membandingkan reaksi orang terhadap gelitik dengan respons terhadap humor. Dia menyarankan, agar bisa digelitik, seseorang harus dalam suasana hati yang baik, terkejut, dan hanya disentuh ringan.
Apa yang diungkapkan Socrates maupun Darwin masih ambigu dan tak sepenuhnya benar. Berabad-abad kemudian, masih banyak misteri seputar rasa geli.
Vox menulis, ada dua jenis geli, yakni knismesis dan gargalesis. Knismesis adalah sensasi ringan, seperti yang kita rasakan saat bulu digosokkan ke kulit. Sedangkan gargalesis terjadi saat seseorang digelitik lebih agresif oleh orang lain.
Beberapa penelitian tentang gelitik, menurut Vox, sudah pernah diterbitkan. Misalnya, pada 1940-an seorang peneliti dari Antioch College, Clarence Leuba mempelajari gelitik dengan menggunakan kedua anaknya sebagai subjek uji. Kesimpulannya, tertawa karena gelitik merupakan respons alami, bukan respons yang dipelajari.
Lalu, pada 1999 para peneliti dari Universitas California menutup mata 32 mahasiswa dan memberi tahu mereka kalau tangan robot akan menggelitik kaki mereka sekali dan seseorang dua kali secara diam-diam. Para mahasiswa bereaksi dengan cara yang sama ketika mereka mengira mesin itu adalah manusia. Para peneliti menyimpulkan, respons terhadap geli merupakan refleks alami, bukan refleks sosial yang muncul dari interaksi antara dua orang.