close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi seorang anak yang digelitik ibunya./Foto Gabe Pierce/Unsplash.com
icon caption
Ilustrasi seorang anak yang digelitik ibunya./Foto Gabe Pierce/Unsplash.com
Sosial dan Gaya Hidup
Kamis, 29 Mei 2025 06:12

Teka-teki sensasi rasa geli saat digelitik

"Gelitik relatif kurang diteliti," kata ahli saraf Konstantina Kilteni.
swipe

Dua ribu tahun silam, filsuf Yunani Socrates menggambarkan sensasi yang dihasilkan dari gelitik sebagai sesuatu yang ambigu: ada unsur kesenangan dan rasa sakit. Pada 1872, naturalis dan biolog Inggris Charles Darwin menulis soal gelitik, membandingkan reaksi orang terhadap gelitik dengan respons terhadap humor. Dia menyarankan, agar bisa digelitik, seseorang harus dalam suasana hati yang baik, terkejut, dan hanya disentuh ringan.

Apa yang diungkapkan Socrates maupun Darwin masih ambigu dan tak sepenuhnya benar. Berabad-abad kemudian, masih banyak misteri seputar rasa geli.

Vox menulis, ada dua jenis geli, yakni knismesis dan gargalesis. Knismesis adalah sensasi ringan, seperti yang kita rasakan saat bulu digosokkan ke kulit. Sedangkan gargalesis terjadi saat seseorang digelitik lebih agresif oleh orang lain.

Beberapa penelitian tentang gelitik, menurut Vox, sudah pernah diterbitkan. Misalnya, pada 1940-an seorang peneliti dari Antioch College, Clarence Leuba mempelajari gelitik dengan menggunakan kedua anaknya sebagai subjek uji. Kesimpulannya, tertawa karena gelitik merupakan respons alami, bukan respons yang dipelajari.

Lalu, pada 1999 para peneliti dari Universitas California menutup mata 32 mahasiswa dan memberi tahu mereka kalau tangan robot akan menggelitik kaki mereka sekali dan seseorang dua kali secara diam-diam. Para mahasiswa bereaksi dengan cara yang sama ketika mereka mengira mesin itu adalah manusia. Para peneliti menyimpulkan, respons terhadap geli merupakan refleks alami, bukan refleks sosial yang muncul dari interaksi antara dua orang.

Ahli saraf dari Donders Institute for Brain Cognition and Behavior di Belanda, Konstantina Kilteni mengatakan, gelitik adalah subjek yang sangat menarik untuk diteliti. Selama bertahun-tahun Kilteni telah bereksperimen untuk menganalisis bagaimana otak manusia membedakan antara sentuhan yang dihasilkan sendiri dan sentuhan eksternal.

“Ini adalah interaksi kompleks dari aspek motorik, sosial, neurologis, perkembangan, dan evolusi,” katanya, dikutip dari situs Radboud Universiteit.

Kilteni menerbitkan penelitiannya tentang teka-teki gelitik dalam jurnal Science Advances baru-baru ini berjudul “The extraordinaty enigma of ordinary tickle behavior: Why gargalesis still puzzles neuroscience”.

Menurutnya, gelitik bisa memperkuat ikatan antara orang tua dan anak-anak. Misalnya, seseorang biasa menggelitik bayi atau anak-anak mereka.

“Tapi bagaimana otak memproses rangsangan geli dan apa hubungannya dengan perkembangan sistem saraf? Dengan menyelidiki ini, kita dapat mempelajari lebih lanjut tentang perkembangan otak pada anak-anak,” kata dia.

Kepada El Pais, Kilteni menuturkan, gelitik bisa memberikan kontribusi bagi ilmu saraf sensorimotor pada bayi dan pemahaman persepsi sentuhan pada orang dengan skizofrenia.

“Gelitik adalah model yang berguna untuk mempelajari interaksi kompleks antara gerakan, sensasi, dan konteks sosial, dengan implikasi di banyak bidang sains,” ucap Kilteni.

Dalam penelitiannya, Kliteni mengajukan lima pertanyaan mendasar tentang gelitik yang masih harus diungkap ilmu saraf dan yang belum ada jawaban pastinya.

Pertama, tentang beberapa area tubuh yang lebih sensitif. Telapak kaki dan ketiak sering kali menjadi titik terlemah untuk digelitik. Menurut Kliteni, jawaban paling klise untuk pertanyaan ini biasanya terkait fisiologis. Artinya, seseorang mengira lebih geli di daerah yang lebih sensitif terhadap sentuhan atau rasa sakit.

“Namun, ini tidak benar. Telapak kaki dan ketiak bukanlah area dengan kepadatan reseptor sensorik kulit tertinggi, yaitu yang mendeteksi rangsangan pada kulit,” tulis El Pais.

Kedua, terkait mengapa kita tertawa walau tak suka digelitik. “Sebagai perilaku sosial, tawa dapat mengomunikasikan emosi yang berbeda dan memiliki konotasi yang berbeda, mulai dari kebahagiaan dan kegembiraan hingga rasa malu dan agresi,” ujar Kilteni.

Beberapa penelitian sudah menganalisis berbagai parameter dan sifat akustik dari tawa geli dan membandingkannya dengan tawa gembira. Ternyata, tawa yang dihasilkan berbeda-beda. “Kegembiraan karena geli bisa jadi merupakan respons primitif, refleks, bukan kenikmatan,” tulis El Pais.

Ketiga, tentang mengapa kita tidak bisa menggelitik diri sendiri. El Pais menulis, sains sudah membuktikan geli tak dapat disebabkan diri sendiri. Namun, yang tidak sepenuhnya jelas adalah alasannya. “Anda tidak dapat menggelitik diri sendiri karena Anda tahu sebelumnya kapan dan di mana Anda akan mengalami kontak,” ucap Kilteni.

Keempat, tentang sebagian orang yang lebih sensitif. Penelitian yang sudah dilakukan sulit dievaluasi karena setiap partisipan merasakan geli secara berbeda. “Kami masih belum tahu apakah ini disebabkan oleh penyebab fisiologis atau sifat kepribadian,” kata Kilteni.

Kelima, soal fungsi evolusi dari gelitik. Beberapa ilmuwan berpendapat, gelitik memainkan peran penting bagi nenek moyang kera dan manusia purba. Yang lainnya percaya, hal itu merupakan hasil sampingan dari persepsi sentuhan lain dan sebenarnya tak punya keuntungan atau kerugian evolusi.

“Itu bisa menjadi aktivitas sosial, mekanisme bermain, atau memiliki aspek afektif dan ikatan,” ujar Kilteni.

Penelitian juga menunjukkan, orang dengan gangguan autisme merasakan sentuhan lebih geli. Kilteni berpendapat, pertanyaan-pertanyaan tadi belum terjawab karena belum didefinisikan dengan jelas apa sebenarnya yang dimaksud dengan menggelitik dalam komunitas ilmiah.

“Sulit juga untuk membandingkan antara penelitian yang ada. Saat seseorang digelitik oleh orang lain, sulit untuk meniru bentuk gelitik itu secara persis dengan subjek uji yang lain,” kata Kilteni dalam situs Radboud Universiteit.

img
Fandy Hutari
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan