The Handmaid’s Tale: Mimpi buruk setiap perempuan

"The Handmaid's Tale adalah pengingat untuk melawan penggunaan agama sebagai alat gebuk dan legitimasi sebuah tirani.

Janine, salah satu karakter handmaid di Handmaid's Tale./ IMDB

Sebagai fiksi distopia, ketakutan akan masa depan yang dihadirkan "The Handmaid’s Tale" terasa familiar dengan masa kini. Dalam "The Handmaid’s Tale", Amerika telah bersalin wajah menjadi negara teokrasi Kristen Gilead. Tidak ada lagi Amerika yang demokratis dan bebas.

"The Handmaid’s Tale" meminjam sudut pandang Offred, tokoh utama dalam fiksi besutan Margaret Atwood ini. Offred dan handmaid lain adalah para perempuan subur yang mesti mengabdi pada tuan rumahnya dan hanya memiliki satu fungsi: beranak. Sementara itu, perempuan selain handmaid, memiliki rahim mandul karena bencana lingkungan. Penduduk Gilead tidak boleh mengatakan laki-laki mereka yang mandul, hanya perempuan yang mendapat label itu.

Offred bukanlah nama sebenarnya. Gilead merampas nama dan identitas para perempuan yang menjadi handmaid. Offred sendiri berarti “barang milik Fred”, kepunyaan dari tuan rumah atau commander, tempat para handmaid mengabdi. Sama seperti Ofwarren yang berarti barang milik Warren atau Ofglen yang berarti barang milik Glen.

Identitas adalah anasir penting yang mesti dimiliki, yang menjadikan manusia autentik dan berbeda satu sama lainnya. Identitas menjadi kunci untuk memahami dan merasakan dunia. Gilead yang merampas identitas para handmaid hanya membuat mereka tak ubahnya seperti barang kepemilikan, yang dilabeli sesuka hati oleh para commander.

Gilead memperlakukan perempuan berdasarkan interpretasi mereka akan alkitab yang amat puritan. Mereka dimaknai sebagai barang kepemilikan dan posisinya berada di bawah suami, ayah, ataupun kepala rumah tangga. Gilead tak mengizinkan perempuan-perempuan mereka untuk melakukan sesuatu yang akan memberikan mereka kekuatan.