Beda tafsir integrasi BRIN

Pasal 48 dimohonkan untuk diuji materi oleh dua peneliti ke Mahkamah Konstitusi.

Ilustrasi sidang Mahkamah Konstitusi. Alinea.id/Firgie Saputra

Pasal 48 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (UU Sisnas IPTEK) dimohonkan untuk diuji materi oleh dua peneliti ke Mahkamah Konstitusi (MK). Keduanya mempersoalkan makna integrasi dalam beleid tersebut yang diartikan sebagai peleburan. 

Dua pemohon uji materi itu ialah Eko Noer Kristianto dan Heru Susetyo. Eko adalah peneliti madya di Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), sedangkan Heru berstatus sebagai anggota Dewan Riset Daerah DKI Jakarta. Permohonan uji materi teregistrasi di MK pada 16 Agustus lalu.

Menurut kuasa hukum para pemohon, Wasis Susetio, keduanya resah dengan rencana pemerintah mengintegrasikan lembaga-lembaga riset dan badan litbang di kementerian dan lembaga pemerintah ke dalam BRIN.

Dalam gugatan tersebut, batu uji yang diajukan Wasis yakni Pasal 28D UUD 1945. Pasal itu menjabarkan pemberian hak warga negara atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum, hingga hak untuk mendapat perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja

“Ini akan kita bangun argumentasinya, baik itu secara legal standing dihubungkan dengan asas dan juga yurisprudensi dengan yang ada di MK sendiri,” jelas Wasis dalam webinar Alinea Forum bertajuk “Uji Materi Regulasi BRIN,” Selasa (31/8)