#JusticeForAudrey dan disonansi kognitif warga net

Ketika kondisi disonansi kognitif terjadi, orang akan berupaya menggali informasi lainnya untuk menakar validitas antara sikap dan keyakinan

Tagar #JusticeForAudrey membanjiri berbagai platform media sosial dalam hitungan jam. Sebuah isu viral mengenai aksi perundungan yang dilakukan beberapa siswi tingkat SLTA kepada siswi SLTP bernama Audrey yang cukup menarik perhatian publik dari berbagai kalangan. Tidak hanya dari masyarakat umum yang berlomba mempublikasi mengenai hal ini, tapi juga para artis, politisi, bahkan Presiden Joko Widodo juga sampai angkat bicara.

Emosi masyarakat yang tersulut dituangkan dalam berbagai macam aksi di dunia maya. Seperti menuntut pihak berwajib menghukum pelaku, membuat petisi, sampai juga ikut melakukan aksi bully terhadap para pelaku dengan menyebar luas foto remaja-remaja tesebut dan juga menghujat dengan kata-kata tak pantas.

Melihat kondisi dunia sosial yang riuh dengan masalah ini, pihak kepolisian merespons cepat. Para pelaku yang masih belum dewasa itu dengan cepat ditetapkan sebagai tersangka. Akan tetapi, dari hasil penyelidikan polisi dan hasil visum korban dari rumah sakit, fakta yang terungkap tidaklah seburuk deskripsi tindakan pelaku terhadap korban yang tersebar di media sosial.

Dengan informasi terbaru dari kepolisian dan rumah sakit yang diterima masyarakat melalui media-media utama, warga net berbeda pendapat dalam meyikapinya. Ada yang tetap membela Audrey dan menyalahkan pihak berwenang dan media, ada yang malah balik menyerang Audrey karena dinilai melebih-lebihkan informasi mengenai dirinya dan membuat kegaduhan, dan ada juga yang memilih untuk tidak memihak. Kondisi tersebut terjadi karena disonansi kognitif warga net terhadap informasi yang beredar dan sikap mereka terhadap informasi tersebut.

Disonansi kognitif