Meneropong relasi media massa, humas, dan influencer

Media massa memang dibaca tak sebanyak dulu, tetapi pembaca tersisa itu adalah orang nomor satu di banyak institusi.

Muhammad Sufyan Abdurrahman

Pertengahan Mei lalu, jeritan aspirasi dimunculkan banyak organisasi praktisi media massa di Indonesia. Sedikitnya 12 unsur dari Asosiasi Perusahaan Media dan Asosiasi Profesi Media, menyuarakan tujuh tuntutan ke pemerintah terkait stimulus kepada unsur pers, yang kala itu diwakili Ketua Harian Serikat Perusahaan Pers (SPS) Januar Primadi Ruswita. 

Dampak pandemi Covid-19 terhadap bisnis media massa di Indoensia membuat asosisi menuntut negara alokasikan dana kampanye penanggulangan Covid untuk pers nasional/daerah, subsidi harga kertas 20%, dan  subsidi listrik 30%. Selanjutnya, kredit bunga rendah perbankan, menangguhkan kewajiban iuran BPJS, serta memungut pajak maksimal ke Google, Facebook, Youtube, dan aplikasi sejenisnya yang terkenal kerap mengakali pajak di Tanah Air. 

Bagi penulis sendiri, tujuh tuntutan ini wajar karena tidak hanya merepresentasikan kondisi berat bisnis media massa di Tanah Air, tetapi juga bisnis media massa secara global. Data Dewan Pers menyebutkan, sepanjang Januari-April 2020, 71% dari 434 perusahaan media cetak yang terdaftar di Dewan Pers, pendapatan dari sirkulasi dan terutama iklan menurun tajam. 

Imbasnya, 50% di antaranya terpaksa merumahkan karyawan. Sebagiannya lagi terpaksa “mencabut nyawa”-nya dengan berhenti terbit, baik sementara/selamanya. Kisah faktual wartawan yang dicicil bahkan tak peroleh THR (Tunjangan Hari Raya) Idulfitri 2020 juga terjadi.

The Star, portal berita terbesar di Kanada per 7 Mei melaporkan hanya perlu enam pekan masa pandemi di negara tersebut guna membuat 50 koran berhenti terbit temporer/permanen. The New York Time mewartakan, 36.000 pekerja media di Amerika Serikat terpaksa di-PHK selama masa pandemi.