sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id
Muhammad Sufyan Abdurrahman

Meneropong relasi media massa, humas, dan influencer

Muhammad Sufyan Abdurrahman Rabu, 12 Agst 2020 15:34 WIB

Pertengahan Mei lalu, jeritan aspirasi dimunculkan banyak organisasi praktisi media massa di Indonesia. Sedikitnya 12 unsur dari Asosiasi Perusahaan Media dan Asosiasi Profesi Media, menyuarakan tujuh tuntutan ke pemerintah terkait stimulus kepada unsur pers, yang kala itu diwakili Ketua Harian Serikat Perusahaan Pers (SPS) Januar Primadi Ruswita. 

Dampak pandemi Covid-19 terhadap bisnis media massa di Indoensia membuat asosisi menuntut negara alokasikan dana kampanye penanggulangan Covid untuk pers nasional/daerah, subsidi harga kertas 20%, dan  subsidi listrik 30%. Selanjutnya, kredit bunga rendah perbankan, menangguhkan kewajiban iuran BPJS, serta memungut pajak maksimal ke Google, Facebook, Youtube, dan aplikasi sejenisnya yang terkenal kerap mengakali pajak di Tanah Air. 

Bagi penulis sendiri, tujuh tuntutan ini wajar karena tidak hanya merepresentasikan kondisi berat bisnis media massa di Tanah Air, tetapi juga bisnis media massa secara global. Data Dewan Pers menyebutkan, sepanjang Januari-April 2020, 71% dari 434 perusahaan media cetak yang terdaftar di Dewan Pers, pendapatan dari sirkulasi dan terutama iklan menurun tajam. 

Imbasnya, 50% di antaranya terpaksa merumahkan karyawan. Sebagiannya lagi terpaksa “mencabut nyawa”-nya dengan berhenti terbit, baik sementara/selamanya. Kisah faktual wartawan yang dicicil bahkan tak peroleh THR (Tunjangan Hari Raya) Idulfitri 2020 juga terjadi.

The Star, portal berita terbesar di Kanada per 7 Mei melaporkan hanya perlu enam pekan masa pandemi di negara tersebut guna membuat 50 koran berhenti terbit temporer/permanen. The New York Time mewartakan, 36.000 pekerja media di Amerika Serikat terpaksa di-PHK selama masa pandemi.

Di Australia, seperti dirilis The Guardian, ada 157 media terpaksa berhenti terbit sementara/selamanya atau mengurangi karyawannya. Per Maret lalu, surat kabar berusia 120 tahun lebih di negeri Kangguru, Yarram Standar, terpaksa melambaikan bendera putih tak bisa menyintasi terjangan disrupsi multidimensi aktual.

Sebaliknya, pagebluk mendorong kenaikan pendapatan influencer di media sosial, baik di tanah air apalagi global --semisal Atta Halilintar. Sebuah kondisi yang terbilang paradoks. Apa yang influencer lakukan relatif dilakukan media massa yakni berbagi informasi, data, dan fakta namun pemasukan mereka dari paid promotion (baca: iklan) malah berlipat.   

Apabila media massa memberitakan keseharian dengan proses jurnalistik tak mudah menjurus rumit, para pemengaruh bertutur keseharian dalam cakupan konten ringan dan mudah. Bedanya, media massa terpuruk tak peroleh paid promotion, tetapi tidak dengan influencer yang kini malah jadi bidikan banyak praktisi hubungan masyarakat (humas) dengan melampaui media massa. Suka tidak suka, berbagai kendala finansial media massa pada prolog tadi, tentu takkan pernah bisa dilepaskan dari peran seorang humas di pemerintahan/BUMN/sektor privat.

Sponsored

Tiga solusi kondisi

Di mata penulis, ada tiga kondisi berikut solusinya pada relasi kontemporer media massa, humas, dan influencer tersebut. Pertama, mayoritas media massa di Indonesia masih menerapkan model konvensional dalam bentuk penyediaan ruang iklan, termasuk pada platform digital mereka. Upaya menghadirkan konten premium berbayar belum benar-benar digarap serius, sebagaimana influencer serius menggarap bisnis derivatif mereka semacam jualan merchandise.

Solusinya adalah manajemen media massa harus bergiat menghadirkan model bisnis konten premium berbayar karena Indonesia mulai masuk periode warganet rela, bahkan banyak keluar uang berlangganan. Seperti terlihat dalam kemajuan pesat bisnis layanan Netflix, Ruang Guru, dan Zoom di masa pandemi ini.

Kedua, praktisi humas kerap mengambil keputusan berbelanja iklan hanya berdasarkan viralitas media sosial tanpa memperhitungkan peran strategis media massa. Hanya karena terus menjadi trending, seketika fungsi vital media massa (sebagai medium yang dibaca decision maker utama) dilupakan.

Media massa memang dibaca tak sebanyak dulu, tetapi pembaca tersisa itu adalah orang nomor satu di banyak institusi. Lebih ironis dari itu, pengukuran respons publik oleh humas pun dominan intuitif. Keputusan tidak didasarkan analisa peranti lunak maha data (big data) atas media massa/sosial yang saat ini makin mudah diakses.

Maka itu, sebagai solusi awal, humas sebaiknya tak serta merta memindahkan seluruh bujet dari legacy media ke new media hanya merujuk keputusan emosional. Berselancarlah pada arus perubahan komunikasi publik saat ini dengan menyeimbangkan kedua media tersebut berbasis analisa bersifat data driven.  

Ketiga, premis Tom Nichols (Oxford University, 2017) soal matinya kepakaran (the death of expertise), terutama dari praktisi humas dan pekerja media, bisa makin terjadi disalip oleh influencer yang piawai mengelola emosi para follower khususnya dan warganet umumnya. Harus diakui, praktek kerja copy paste jurnalis kini makin mudah ditemukan.

Demikian pula dengan humas sekedar bermodal performa fisik. Imbasnya, tak ada perbedaan kinerja dan kedalaman kualitas dibandingkan dengan influencer yang notabene otodidak mengembangkan keahliannya. Semua produk pasaran ketika banyak Youtuber bisa menampilkan hal berbeda, menarik, dan lama-lama sama berkualitasnya.

Maka itu, proses belajar tanpa henti, sekaligus mencuatkan etos dan vitalitas kerja memberikan layanan terbaik, selayaknya terus dilakukan dari para praktisi humas dan insan pers. Sebelum relasi mutakhir media massa, humas, dan influencer ini berubah menurun menjadi relasi rumit yang bahklan bisa saling destruktif.

  

Berita Lainnya
×
tekid