Mengembalikan sistem sendiri dalam ketatanegaraan

Gagasan PDIP mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara dan mengesahkan GBHN harus menjadi kesadaran seluruh anak bangsa.

Keinginan PDIP mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara dengan kewenangan menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), merupakan hal menarik. Apalagi PDIP juga mendorong negara menyusun rencana pembangunan nasional dengan semangat Pembangunan Nasional Semesta Berencana (PNSB).

Kita sudah terlalu lama dipaksa memakai baju asing yang tidak sesuai dengan badan dan hati sanubari, seperti individualisme, liberalisme, dan kapitalisme yang telah menggerogoti dan memorak-porandakan tatanan nilai dan jati diri sebagai bangsa. Kita sudah banyak kehilangan kedaulatan bahkan sudah di titik nadir, hanya sebagai permainan bangsa lain atas nama demokrasi liberal.

Dimulai dari berlakunya UUD hasil amendemen sejak 2002, dan berlaku sistem presidensial, di mana MPR sebagai pemegang kedaulatan negara tertinggi dan sebagai perwujudan dari rakyat dihapus, dan badan legislatif ditetapkan menjadi badan bikameral dengan kekuasaan yang lebih besar (strong legislative).

Padahal, antara 1949 sampai 1959, Indonesia menggunakan sistem pemerintahan parlementer dan terbukti tidak mampu menciptakan stabilitas pemerintahan yang amat diperlukan untuk pembangunan bangsa, karena dalam waktu empat tahun terjadi 33 kali pergantian kabinet (Feith, 1962 dan Feith, 1999).

Cita-cita masyarakat yang adil dan makmur tidak mungkin terwujud jika diletakan pada sistem individualisme, liberalisme, kapitalisme seperti sekarang ini. Bagaimana mungkin kekayaan Ibu Pertiwi dikuasai segelintir orang dan mengatasnamakan liberalisme demokrasi asing, bisa seenaknya menguras kekayaan akibat bangsa tidak lagi berdaulat?