Wacana kembali ke UUD 1945 sebelum amandemen kembali menyeruak. Kali ini, penggagasnya adalah Forum Purnawirawan TNI. Usulan itu merupakan satu dari delapan poin tuntutan Forum Purnawirawan TNI yang disampaikan kepada Presiden Prabowo Subianto pada pertengahan April lalu.
"Satu, kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 asli sebagai tata hukum politik dan tata tertib pemerintahan," tulis Forum Purnawirawan TNI dalam sebuah dokumen yang ditandatangani Jenderal TNI (Purn) Fachrul Razi, Jenderal TNI (Purn) Tyasno Sudarto, Laksamana TNI (Purn) Slamet Soebijanto dan Marsekal TNI (Purn) Hanafie Asnan.
Pada lembar itu tertulis tanggal penyusunan pada Februari 2025. Mantan Wakil Presiden RI Jenderal TNI (Purn) Try Sutrisno juga membubuhkan tanda tangan pada kolom "mengetahui".
Sebelum diamandemen, UUD 1945 memandatkan presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR, tidak dipilih langsung oleh rakyat sebagaimana praktik pemilu pasca-Reformasi. Selain itu, konsekuensi lainnya adalah masa jabatan presiden dan wakil presiden yang tidak terbatas.
Pada 7 November 2023, tuntutan untuk kembali ke UUD 1945 juga sempat disuarakan sejumlah tokoh nasional dalam deklarasi di Gedung Joeang 45, Menteng, Jakarta Pusat. Ketika itu, hadir Ketua DPD RI La Nyalla Mattalitti, Try Sutrisno, dan tokoh buruh Mirah Sumirat,
Pakar hukum tata negara Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) King Faisal Sulaiman menganggap wajar usulan kembali ke UUD 1945. Menurut dia, UUD hasil amandemen ke-4 menghasilkan sistem demokrasi yang "cacat" dan kerap menghasilkan wakil rakyat dari hasil pemilu transaksional.
"Sebenarnya demokrasi Pancasila itu filosofinya musyawarah untuk mufakat. Asumsinya adalah orang-orang yang duduk di parlemen itu memang wakil rakyat yang berkualitas. Pemilu pasca-Reformasi sangat banyak mudaratnya," kata Faisal kepada Alinea.id di Jakarta, belum lama ini.
Dengan kembali ke konstitusi awal, menurut Faisal, pemilihan umum lima tahunan bisa dihemat. Meski begitu, ia tak setuju jabatan presiden dan wakil presiden tak dibatasi sebagaimana isi UUD 1945 awal. "Jadi, tetap harus dibatasi," kata Faisal.
Hal lain yang harus dimodifikasi adalah kewenangan senator alias anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI. Faisal mengusulkan penguataan wewenang DPD dalam membuat undang-undang. "Selama ini, DPD hanya jadi pemanis di DPR," imbuh dia.
Berbeda, Direktur Pusat Studi Konstitusi, Demokrasi dan Masyarakat (SIDEKA) Fakultas Syariah UIN Samarinda, Suwardi Sagama tak sepakat dengan usulan Forum Purnawirawan TNI agar Indonesia kembali mengadopsi UUD 1945 sebelum amandemin. Sebuah konstitusi, kata dia, sudah sewajarnya bersifat progresif dan disesuaikan kemajuan zaman.
"Konstitusi asli atau UUD 1945, pada awal pembentukannya--sudah disampaikan oleh pendiri bangsa--bahwa bersifat sementara. Hal tersebut sah-sah aja karena awal-awal kemerdekaan harus ada pedoman yang menjadi landasan bernegara dan penyelenggaraan pemerintahan. Artinya, konstitusi asli bukan untuk digunakan dalam kurun waktu yang lama. Apalagi sepanjang waktu," kata Suwardi kepada Alinea.id.
Usulan kembali ke UUD 1945, kata Suwardi, seolah membuka luka lama yang sudah diobati. Namun demikian, Suwardi mengakui masih perlu ada perbaikan dan penyesuaian pada substansi konstitusi yang sekarang berlaku agar lebih relevan.
"Bahkan, celakanya lagi, (jika kembali ke UUD 1945), Indonesia tidak lagi sebagai negara hukum sebagaimana bunyi konstitusi hari ini (hasil amandemen). Presiden kembali memegang kendali pembentukan undang-undang yang dapat memberikan kewenangan absolut untuk mengatur, tanpa adanya check and balance dari DPR," kata dia.
UUD 1945 sudah empat kali diamandemen. Aspek-aspek yang direvisi ialah yang terkait kekuasaan presiden, otonomi daerah, hak asasi manusia, dan pembentukan lembaga negara. Alih-alih kembali ke UUD 1945, DPR saat ini justru mewacanakan untuk kembali mengamandemen UUD 1945.