Budaya impunitas inilah yang menjadi ancaman masyarakat sipil dalam beraktivitas.
Dalam sebuah pertemuan sekaligus konferensi pers Majelis Hukum & HAM PP Muhammadiyah beserta Organisasi Masyarakat Sipil pada 2 Desember 2019, KontraS merilis temuan, bahwa sepanjang 2019 terdapat 1384 kasus dugaan pelanggaran kebebasan berpendapat, berkumpul, dan berekspresi yang dilakukan Polri.
Mayoritas pelanggaran kebebasan berpendapat tersebut adalah pembubaran demonstrasi, juga terdapat ancaman untuk mengurungkan rencana demonstrasi. Dan yang terbaru adalah kematian alm Randy, mahasiswa Universities Halu Oleo yang ditembak oknum polisi pada aksi 26 September 2019, saat ini publik masih menunggu ujung dari kasus tersebut.
Pada Februari 2019 publik juga dikejutkan adanya penyidik Polres Jayawijaya Papua menginterogasi tersangka pencuri ponsel dengan mengalungkan ular di badannya untuk menakut-nakuti. Video tersebut sempat viral hingga mengundang perhatian ahli Hak Azasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mendesak pemerintah Indonesia menyelidiki dan menindak oknum polisi yang menggunakan cara-cara kekerasan dalam bekerja.
Lebih panas lagi adalah saat menjelang Pemilu 2019, kinerja kepolisian bertubi-tubi disorot publik.
Sekilas laporan beserta contoh kekerasan tersebut mungkin dianggap wajar, karena beberapa kejadian lain, sudah sering terjadi dan membiasa di masyarakat. Namun publik perlu disadarkan mengenai batasan-batasan yang seharusnya didapat, sehingga masyarakat terjaga akan haknya sebagai warga negara, sekaligus memahami kewajiban dalam menjalankan aktivitas yang bernuansa kebebasan berpendapat.