sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id
Andy R Wijaya

Menyoal budaya impunitas Polri

Andy R Wijaya Kamis, 05 Des 2019 18:42 WIB

Dalam sebuah pertemuan sekaligus konferensi pers Majelis Hukum & HAM PP Muhammadiyah beserta Organisasi Masyarakat Sipil pada 2 Desember 2019, KontraS merilis temuan, bahwa sepanjang 2019 terdapat 1384 kasus dugaan pelanggaran kebebasan berpendapat, berkumpul, dan berekspresi yang dilakukan Polri.

Mayoritas pelanggaran kebebasan berpendapat tersebut adalah pembubaran demonstrasi, juga terdapat ancaman untuk mengurungkan rencana demonstrasi. Dan yang terbaru adalah kematian alm Randy, mahasiswa Universities Halu Oleo yang ditembak oknum polisi pada aksi 26 September 2019, saat ini publik masih menunggu ujung dari kasus tersebut.

Pada Februari 2019 publik juga dikejutkan adanya penyidik Polres Jayawijaya Papua menginterogasi tersangka pencuri ponsel dengan mengalungkan ular di badannya untuk menakut-nakuti. Video tersebut sempat viral hingga mengundang perhatian ahli Hak Azasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mendesak pemerintah Indonesia menyelidiki dan menindak oknum polisi yang menggunakan cara-cara kekerasan dalam bekerja.

Lebih panas lagi adalah saat menjelang Pemilu 2019, kinerja kepolisian bertubi-tubi disorot publik.

Sekilas laporan beserta contoh kekerasan tersebut mungkin dianggap wajar, karena beberapa kejadian lain, sudah sering terjadi dan membiasa di masyarakat. Namun publik perlu disadarkan mengenai batasan-batasan yang seharusnya didapat, sehingga masyarakat terjaga akan haknya sebagai warga negara, sekaligus memahami kewajiban dalam menjalankan aktivitas yang bernuansa kebebasan berpendapat.

Beberapa kejadian tadi, saya menyebut dengan nama “budaya impunitas” di tubuh Polri. Yaitu, budaya permisif yang biasa dilakukan tanpa berkaca terhadap ancaman hukuman yang akan dihadapinya. Kalau dicari, kosakata impunitas ini sering dipakai dalam dunia kekerasan HAM, di Indonesia kebanyakan pelakunya adalah militer, bukan Polri. Namun jika melihat pada substansi pelanggarannya, maka contoh di paragraf atas bisa dikategorikan pada upaya impunitas.

Impunitas berasal dari kata impune yang artinya ‘tanpa hukuman’. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata impunitas adalah keadaaan tidak dapat dipidana, atau nirpidana. Bisa dikatakan impunitas adalah sebuah tindakan yang terbebas dari hukuman serta tidak bisa di pidana.

Budaya impunitas inilah yang menjadi ancaman masyarakat sipil dalam beraktivitas. Dalam catatan YLBHI menjelang HUT Polri ke 73, YLBI menyatakan setidaknya terdapat delapan masalah kepolisian berdasarkan pengaduan dan permohonan bantuan hukum dari masyarakat.

Sponsored

Kedelapan masalah tersebut adalah, pertama, kriminalisasi dan minimnya akuntabilitas penentuan tersangka. Kedua, penundaan proses (undue delay) atau suatu urusan yang penyelesaiannya berlarut-larut. Ketiga, mengejar pengakuan tersangka. Keempat, penangkapan sewenang-wenang. Kelima, penahanan sewenang-wenang, permasalahan akuntabilitas penahanan dan penahanan berkepanjangan. Keenam, hak penasihat hukum yang dibatasi, penyiksaan dan impunitasnya. Kedelapan, pembunuhan di luar proses hukum (extra-juddicial killing).

Kalau dielaborasi, kasus kriminalisasi, penangkapan dan penahanan yang sewenang-wenang itulah yang sering menghantui masyarakat, terkhusus penanganan terkait dengan demonstrasi atau aksi massa. Ini berbeda dengan penanganan dalam kasus kriminal lain. 

Kasus kriminal biasa memang sudah menjadi tugas dan kewajiban Polri secara profesional, meskipun juga masih terdapat celah pelanggaran yang tergolong budaya impunitas tadi. Namun, soal kriminalisasi, penangkapan dan penahanan yang sewenang-wenang ini kental di bumbui ketidaknetralan yang terkait dengan kompetisi politik serta tidak profesional.

Atas perilaku budaya impunitas tadi, masyarakat menjadi trauma dan menganggap partisipasi publik terlebih yang mengarah pada kegiatan menyuarakan pendapat sebagai kegiatan yang tabu, mengganggu ketertiban, dan hanya buang-buang waktu, karena bisa berurusan dengan aparat keamanan bahkan tak dipungkiri bisa berujung di penjara. Padahal kalau melihat esensinya, salah satu indikasi negara demokrasi, selain kebebasan pers, adalah kebebasan berpendapat dan jaminan akan HAM.

Perkuat Kompolnas atau ubah format kepolisian

Selain pengawasan internal Polri melalui Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam), UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Kepolisian) juga terdapat Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).

Namun regulasi dalam melakukan pengawasan di Kompolnas sangatlah terbatas dan tidak bisa melakukan pengawasan langsung. Hal ini terlihat dalam Pasal 38 angka (2) huruf c UU Kepolisian yang menyebutkan, salah satu kewenangan di Kompolnas adalah menerima saran dan keluhan dari masyarakat mengenai kinerja kepolisian dan menyampaikannya kepada Presiden. 

Artinya, tugas di atas hanya sebagai supervisi Presiden. Jika hanya supervisi dari Presiden, maka hanya cukup diawasi dan laporkan, selebihnya terserah Presiden yang akan menertibkan. Hal ini tentunya akan masuk dalam konflik kepentingan, terlebih Presiden pasti akan bersinggungan dengan kegiatan politik negara dan pemerintahan. 

Mungkin itu sebabnya pemandangan yang terlihat seperti dalam Pemilu 2019, sangat kental ketidaknetralannya. Penanganan kasus-kasus terkait dengan kampanye yang dilakukan oleh perangkat negara cenderung tebang pilih. Hal ini sebagaimana dikemukakan pengamat kepolisian, Bambang Widodo Umar pada 2017, yang mengatakan tidak terdapat regulasi membatasi (ada sanksi) hubungan Presiden dengan Polri juga dengan kelompok sosial ekonomi.

Di sisi lain, tidak adanya sanksi jika polisi ikut dalam kegiatan politik, cenderung membuka jalan polisi melakukan tebang pilih dalam penegakan hukum. Karena itulah alternatif dalam pengawasan yang lebih ketat bisa dilakukan dengan cara membuat Kompolnas menjadi independen, yang berisi masyarakat sipil berintegritas. 

Jika penguatan pengawasan melalui lembaga independen susah dilakukan, maka Presiden dan DPR semestinya mempersiapkan alternatif format kepolisian masa depan, dengan menitikberatkan kepada tugas dan wewenang kepolisian.  

Sebagaimana kita ketahui bersama juga dalam UU Kepolisian, tugas dan wewenang polisi kita dari urusan mengatur lalu lintas, menerima aduan dari masyarakat, mengejar pelaku kriminal, membereskan kejahatan khusus seperti korupsi, narkoba, teroris sampai ke pengamanan demonstrasi. Ini terlihat gemuk sekali, hampir semua yang terkait dengan urusan ketertiban, keamanan dalam negeri, dan kejahatan ada di pundak Polri.

Bandingan dengan negara lain, misalnya Amerika Serikat. Terlihat sangat berbeda. Amerika karena bentuk negaranya adalah federal, bisa memaksa sistem kepolisian terpisah dari negara bagian. Pemerintah negara bagian mempunyai kewenangan untuk mengawasi kepolisian masing-masing, sehingga kepolisian di Amerika tidak tersentral seperti Indonesia.

Untuk negara federal, kepolisiannya juga terpisah terkait tugas dan fungsi, yaitu hanya menangani kejahatan-kejahatan khusus. Itupun lembaga kepolisiannya terpisah, terdiri dari FBI, US DEA, US Marshal, dan US secret service. Ada pemisahan otoritas penyelesaian kasus (Ahwil Luthan dkk, 2000).

Atau jika masih tersentral, bisa meniru sistem kepolisian Jepang. Meskipun tersentral seperti Indonesia, namun pengawasannya bisa dilakukan pemerintah daerah. Dengan menerapkan Integrated System of Policing, yaitu menerapkan sistem kontrol/pengawasan yang dilakukan pemerintah pusat dan daerah. Pengawasan dilakukan agar terhindar dari penyalahgunaan organisasi polisi, serta agar lebih efektif, efisien, dan juga seragam dalam pelayanan. Sistem ini dikenal dengan nama desentralisasi moderat atau sistem kombinasi (Terri,1984) atau sistem kompromi (Stead,1977). 

Akhirnya, apapun sistemnya, pengawasan dalam tubuh Polri harus berorientasi untuk mendorong penghilangan budaya impunitas. Dari dua alternatif tadi, sudah pasti Undang-Undang Kepolisian harus segera direvisi dengan memfokuskan pada kepolisian yang promoter, profesional, modern, dan terpercaya.

Berita Lainnya
×
tekid