Semiotika kebencian

Tiap orang boleh saja benci ajaran agama apapun. Tapi, barangsiapa mengekspresikannya di publik, ia mengancam ketenangan kehidupan publik.

Acep Iwan Saidi

Rektor Institut Teknologi Kalimantan (ITK), Prof. Budi Santosa Purwakartiko (BSP), yang dianggap telah melakukan pelecehan terhadap agama (Islam) akhirnya dipolisikan oleh Pengurus Wilayah Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Kaltimtara (www.detik.com, 07/05/2022).

Saya pikir, ini memang hal yang seharusnya dilakukan. Dari sisi konten bahasa, apa yang dilakukan BSP telah memenuhi syarat untuk disebut sebagai kasus SARA. BSK telah melakukan ujaran kebencian terhadap ajaran Islam. Secara semiotis, berikut saya kemukakan analisis singkat terkait hal itu, untuk dua tujuan. Pertama, menanggapi sanggahan BSP atas kesimpulan publik terhadap ucapannya. Kedua, mencoba membantu pihak terkait dalam menangani perkara ini.

Sebagaimana banyak diberitakan media, diksi utama yang dipermasalahkan adalah “manusia gurun” yang digunakan BSP untuk menyebut orang yang memakai “tutup kepala”. Ungkapan ini kemudian disimpulkan banyak pihak bahwa tutup kepala yang dimaksud adalah “jilbab, hijab, kerudung, cadar, dan lain-lain” yang identik dengan “penutup aurat perempuan” dalam syariat Islam. 

BSP telah melakukan klarifikasi dan menyanggah tuduhan  tersebut (www.detik.com, 07/05/2022). Menurutnya ia tidak bermaksud mendiskriminasi dan merendahkan orang yang memakai jilbab. Respons atas ucapannya, menurut BSP, merupakan kesalahpahaman. BSP berujar, "Mereka itu sangat salah paham. Saya menggunakan (kalimat) yang jadi masalah kan, mereka tidak ada yang pakai kerudung ala manusia gurun kan ya?. Jadi maksud saya tidak seperti orang-orang yang pakai tutup-tutup, kaya orang Timur Tengah yang banyak, pasir, angin, panas gitu, ya”. 

BSP juga menambahkan “…di situ saya tidak ada kata-kata bahwa yang menggunakan kerudung saya akan nilai jelek atau saya ini nggak ada loh. Saya ngomong seperti itu sama sekali tidak ada. Saya hanya menceritakan bahwa kebetulan dari 12 itu tidak ada yang pakai kerudung". Akan halnya ungkapan di status FB tersebut menjadi heboh, menurut BSP hal itu merupakan konsekuensi bahasa tulis yang dijadikan alat oleh beberapa oknum untuk memvonis dirinya   telah merendahkan wanita yang mengenakan kerudung.