Sindrom holiday blues kala Idulfitri

Saat tradisi Lebaran berubah menjadi tuntutan sosial, maka alih-alih membahagiakan, itu justru menghasilkan tekanan tersendiri.

Dokumen pribadi Andry Waseso.

*Pegiat psikoedukasi

Saat ini sebagian besar masyarakat Indonesia sedang menikmati cuti bersama Idulfitri yang berlangsung kurang lebih sembilan hari. Idulfitri sendiri adalah hari besar umat Islam yang dirayakan setiap tahun dan menjadi kesempatan untuk saling menyambung silaturahmi, bermaafan, dan menikmati liburan bersama keluarga atau teman.

Setiap tradisi agama atau budaya di dunia memiliki saat-saat libur panjang seperti ini di waktu yang beragam. Apapun makna dari perayaannya, satu hal yang pasti, semua orang diharapkan berlibur melepas penat dari kesibukan sehari-hari. Tentu saja kesempatan ini tidak boleh disia-siakan. Liburan adalah saat kita menyegarkan lagi pikiran dan menikmati kebahagiaan bersama orang-orang yang kita anggap penting dengan berjalan-jalan, menikmati kuliner yang tidak biasa, dan berfoto-foto untuk diunggah ke media sosial.

Namun, apakah ini untuk semua orang? Belum tentu. Ketika kebahagiaan di masa liburan menjadi norma sosial, beberapa orang menghayatinya sebagai tekanan dan pada akhirnya menimbulkan stress yang tidak bisa dianggap enteng. Biasanya ini disebut sebagai holiday blues (HB), sebuah keadaan stress yang dirasakan seseorang, dan disebabkan oleh berbagai harapan sosial di masa liburan.

Selain itu, ada juga tekanan-tekanan lain seputar tradisi sosial selama Idulfitri (atau tipe liburan bersama lainnya). Daftarnya bisa dimulai dari memasak secara spesial, berbagi uang dengan kerabat yang dipandang kurang mampu, pulang mudik ke kampung halaman sampai sekadar membeli baju baru.