The new Prabowo, strategi personal branding yang paradoksal?

Sebutan yang seolah menjadi label baru bagi seorang Prabowo Subianto di hadapan publik yang kontradiktif dengan kesan umum di masyarakat.

dok.pribadi

Jiwa dagang tampaknya sangat kental pada diri Sandiaga Salahuddin Uno yang merupakan salah satu pengusaha terkaya di Indonesia. Meski telah banting setir ke ranah politik, ilmu marketing Sandiaga tetap luar biasa. Jika sebelumnya di dunia usaha marketing dilakukan pada produk atau jasa, namun kali ini aplikasi teori marketingnya lebih pada personal.

Sandiaga mengklaim dirinya sebagai “super hero” bagi kalangan emak-emak di Indonesia atau kaum wanita yang jumlahnya sekitar separuh dari 197 juta daftar pemilih sementara, kini ia tampak getol untuk menyosialisasikan personal branding pasangan Calon Presidennya dengan sebuah prasa “the new Prabowo”. Sebutan yang seolah menjadi label baru bagi seorang Prabowo Subianto di hadapan publik yang kontradiktif dengan kesan umum yang ada di masyarakat selama ini.

Branding the new Prabowo dimunculkan saat menjelang Pemilihan Presiden 2019 tak lain untuk merubah perspektif masyarakat terhadap mantan Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) tersebut. Sebuah artikel di time.com yang dipublikasi pada 2014 lalu, menyatakan, ketika melihat figur Prabowo, sebagian masyarakat Indonesia masih terbayang-bayang sosok otoritarian di masa orde baru.

Fenomena itu muncul juga karena dugaan keterlibatan Prabowo pada tragedi 1998, khususnya pada kasus hilangnya beberapa aktivis pada saat aksi masa besar-besaran untuk menggulingkan Presiden Soeharto saat itu. Walau sudah berkali-kali dibantah Prabowo dan timnya, namun tampaknya kesan negatif tersebut belum sepenuhnya dapat dihapuskan dari benak masyarakat.

Terlebih lagi, kesan temperamental dan emosional Prabowo menjadi salah satu hal mendasar branding the new Prabowo. Persoalan ini, pada Pilpres 2014 lalu, menjadi salah satu masalah yang diduga menjegal kemenangannya. Direktur Riset Nasional Median, Sudarto, yang melakukan survei elektabilitas kedua calon Presiden saat itu menjelaskan, elektabilitas Prabowo menurun dan lebih rendah dari Jokowi karena kesan temperamental dan emosional yang ada pada dirinya.