Menjadi wartawan di Myanmar berarti menantang maut

Tanpa listrik atau Wi-Fi, upaya terakhir untuk menghubungi sumber adalah melalui saluran telepon tradisional, yang berisiko disadap.

Menjadi wartawan di Myanmar berarti menantang maut. Foto ijnet

Militer Myanmar, juga dikenal sebagai Tatmadaw, menggulingkan pemimpin negara yang terpilih secara demokratis Aung San Suu Kyi pada Februari 2021 atas klaim kecurangan yang tidak berdasar dalam pemilihan umum sebelumnya. Segera setelah mengambil alih kekuasaan, militer mulai menyerbu kantor media independen dan menangkapi wartawan. Hingga hari ini, para jurnalis di Myanmar berani menghadapi risiko yang menakutkan untuk melakukan liputan mereka.

Banyak yang telah melarikan diri, dan mereka yang tetap tinggal menghadapi ancaman terhadap keselamatan mereka. Hari ini, Reporters without Borders memperkirakan 70 jurnalis saat ini berada di penjara di negara tersebut. Beberapa yang dibebaskan dari penjara telah menceritakan kisah-kisah penyiksaan yang parah. Setidaknya empat wartawan tewas di tangan junta militer, termasuk dua saat dalam tahanan.

Di antara mereka yang menghadapi ancaman adalah jurnalis lepas Nyein Nyein Aye, yang divonis tiga tahun penjara dengan kerja paksa. Wartawan Maung Maung Myo dan Aung San Lin masing-masing menerima enam tahun penjara, sementara jurnalis foto Aye Kyaw meninggal dalam tahanan dalam waktu 10 jam setelah penangkapannya pada akhir Juli.

Terlepas dari risiko mengerikan ini, banyak jurnalis melihat peliputan kekerasan militer sebagai sarana perlawanan terhadap rezim. Ini termasuk Thang Deih Tuang, yang menulis dengan nama samaran Vahpual sampai dia meninggalkan Myanmar pada bulan Juni. “Saya ingin menggunakan [keterampilan saya] untuk melawan junta,” katanya.

Tantangan Logistik