Ruang sipil menyusut, demokrasi mundur

Sejauh yang diketahui Haris, Indonesia tidak punya undang-undang tentang perlindungan data pribadi.

Ilustrasi. Istock

Isu-isu serangan terhadap warga sipil secara internasional sudah mulai teridentifikasi. Bahkan Human Rights Forum beberapa tahun lalu juga sudah mendedikasikan satu forum untuk membahas bagaimana shrinking civic space (ruang sipil yang menyusut) ini terjadi dan akan memburuk di dunia. Itu akhirnya terjadi juga secara lebih ekstrem di Indonesia. Jadi, ruang sipil yang menyusut adalah di mana ruang sipil warga tidak lagi aman atau tidak lagi bisa digunakan untuk berpartisipasi dalam kebijakan publik, hak memilih dan dipilih, turut serta dalam pembahasan di berbagai bidang.

Wawasan itu dikemukakan aktivis hak asasi manusia Haris Azhar pada webinar 'Privasi dan Kebebasan Berekspresi di Ranah Digital', Rabu (23/3). Acara ini terselenggara berkat kerja sama Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) dan The Asia Foundation, serta dimoderatori Bladina Lintang dari Hivos.

"Setiap detik warga harusnya berpartisipasi, tapi tidak bisa, karena ruang partisipasi menyusut. Sementara ruang publik bukan hanya berisi soal peluang adanya kebijakan publik, namun juga adanya pelanggaran dan kejahatan terhadap kepentingan publik," singkapnya.

Menurut Haris, ruang publik semakin timpang di mana ada orang yang bisa semakin menikmatinya, tetapi juga makin membesar kerugian dan penderitaannya. Publik kemudian protes karena tidak nyaman soal udara, hutan, dan lainnya. Tapi protes itu sering dibalas dengan represi, kriminalisasi, dan intervensi komunikasi.

"Model serangan terhadap warga sipil di antaranya secara fisik seperti dipukul, dibunuh, dihilangkan hak untuk bergerak. Diserang melalui hukum, digugat secara perdata atau dipidanakan," tegas Haris, Direktur Lokataru.