ALMI sebut kasus LBM Eijkman gejala belum matangnya ekosistem riset di Indonesia

Timbulnya berbagai reaksi atas peleburan LBM Eijkman menurut ALMI menandakan mendesaknya isu tata kelola riset di Indonesia. 

sebuah momen foto bersama peneliti LBM Eijkman dan tamu yang mengadakan kunjungan. Foto LBMeijkman.

Peleburan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman (LBM Eijkman) menjadi Pusat Riset Biologi Molekuler Eijkman (PRBM Eijkman) dinilai sebagai salah satu gejala belum matangnya ekosistem riset di Indonesia.

Ekosistem riset yang baik dapat menjamin kebebasan akademik untuk individu peneliti, otonomi kelembagaan untuk lembaga penelitian, keberlanjutan serta keterkaitan sains dan teknologi dengan kemajuan kemanusiaan, keadilan, dan kesejahteraan.

"Pemerintah Indonesia melalui BRIN sedang mengupayakan pemajuan tata kelola riset dan kelembagaannya. Namun, kebijakan peleburan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman (LBM Eijkman) menjadi Pusat Riset Biologi Molekuler Eijkman (PRBM Eijkman) di bawah BRIN diambil dan diterapkan tanpa kebijakan transisi dengan waktu dan informasi yang memadai," demikian Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI) dalam keterangan persnya, merespons polemik pembubaran Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Kamis (5/1). 

ALMI menyebut, hal ini menyebabkan diskontinuitas sebuah tim riset kelas dunia yang solid. Sebab, tim ini tidak hanya terdiri dari sumber daya manusia (SDM) ilmuwan yang berkualifikasi S3, tetapi juga tenaga laboran, teknisi dan tenaga lain yang saling mendukung.

Akibatnya, peleburan ini berdampak pada penghidupan sebagian SDM yang selama ini merupakan inti dalam proses penelitian di LBM Eijkman. Peleburan juga berpotensi menghapus infrastruktur kelembagaan LBM Eijkman yang telah membangun dan menerapkan salah satu kultur akademik terbaik di Indonesia.