sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Ancaman ketimpangan populasi pada 2100

Sebesar 97% negara di seluruh dunia tak mampu mempertahankan jumlah penduduknya pada 2100.

Fandy Hutari
Fandy Hutari Sabtu, 23 Mar 2024 06:36 WIB
Ancaman ketimpangan populasi pada 2100

Populasi dunia bakal terancam, kurang dari 100 tahun dari sekarang. Tingkat kesuburan sudah menurun drastis di seluruh dunia sejak 1950 dan bakal terus menyusut di nyaris semua negara hingga 2100. Itulah yang ditemukan para peneliti dalam laporan bertajuk “Global fertility in 204 countries and territories, 1950-2021, with forecasts to 2100: A comprehensive demographic analysis for the Global Burden of Disease Study 2021” yang terbit di The Lancet (20 Maret, 2024).

Newsweek menulis, tingkat kesuburan mengalami penurunan paling cepat di beberapa negara Asia dan Karibia, dalam 50 tahun terakhir. Korea Selatan, China, dan Bhutan mengalami penurunan rata-rata jumlah kelahiran per perempuan sebesar 79% antara 1971 dan 2021. Sementara Hong Kong mengalami penurunan tingkat kesuburan sebesar 78%.

Uni Emirat Arab, mengalami penurunan angka kelahiran per perempuan sebesar 77% dalam periode waktu yang sama, seperti halnya Maladewa. Sedangkan Saint Lucia, Anguilla, dan Jamaika mengalami penurunan lebih dari 75%.

“Tidak ada negara yang mengalami penurunan tingkat kesuburan dalam setengah abad terakir, meskipun beberapa negara, seperti Vatikan dan Republik Afrika Tengah, tidak mengalami perubahan,” tulis Newsweek.

Di Amerika Serikat, tingkat kesuburan turun sebesar 26% antara 1971 dan 2021, dari seorang perempuan yang memiliki rata-rata 2,26 anak pada 50 tahun lalu menjadi 1,66 anak saat ini.

Dilansir dari Fox Weather, para peneliti Austria dari International Institue for Applied Systems Analysis (IIASA) dan Wittgenstein Centre for Demography and Global Human Capital memproyeksikan, populasi dunia bakal mencapai puncaknya pada 2080, dengan lebih dari 10,13 miliar orang di bumi. Lantas akan menurun drastis pada 2100 menjadi 9,88 miliar.

Riset terbaru yang dipublikasikan di The Lancet menemukan, lebih dari tiga perempat negara—155 dari 204 negara yang masuk dalam penelitian—tak akan memiliki tingkat kesuburan yang cukup tinggi untuk mempertahankan, bahkan menambah, jumlah penduduknya. Angka tersebut bakal meningkat menjadi 97% di seluruh dunia pada 2100.

Dikutip dari Scimex, penelitian ini menyajikan perkiraan dari Global Burden of Disease, Injuries, and Risk Factors Study 2021—sebuah penelitian global yang dipimpin Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) University of Washington.

Sponsored

“Secara umum, suatu negara perlu memiliki tingkat kesuburan total (total fertility rate) sebesar 2,1 anak per orang untuk mempertahankan penggantian generasi dalam populasi jangka panjang,” tulis Scimex.

Tingkat kesuburan total suatu populasi adalah jumlah rata-rata anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan sepanjang hidupnya, dengan asumsi tingkat kesuburan saat ini selama tahun-tahun reproduksi.

Meski begitu, Newsweek menulis, tingkat kesuburan yang tinggi di negara-negara berpendapatan rendah bakal mendorong peningkatan populasi di wilayah tertentu. Terutama di Afrika sub-Sahara bagian timur dan barat.

Menurut Newsweek, pada 2021, 29% bayi di dunia lahir di Afrika sub-Sahara. Angka ini diperkirakan akan meningkat menjadi 54% dari seluruh bayi di dunia pada 2100. Di Chad, tingkat kesuburan adalah tujuh per perempuan, tertinggi di dunia.

Tahun 2100, hanya enam negara dan wilayah yang diperkirakan memiliki tingkat kesuburan melebihi 2,1 kelahiran per perempuan, antara lain Chad, Niger, Samoa, Somalia, Tajikistan, dan Tonga. Di Eropa Barat, tingkat kesuburan turun dari 1,5 menjadi 1,37 pada 2100.

Mengutip Euronews, perkiraan tingkat kesuburan di negara-negara Eropa Tengah, Timur, dan Barat semuanya berada di bawah rata-rata global pada 2050 dan 2100.

Angka kesuburan di negara-negara Eropa Timur diperkirakan turun dari 1,38 pada 2021 menjadi 1,19 pada 2100 dan negara-negara Eropa Tengah dari 1,48 pada 2021 menjadi 1,21 pada 2100.

Penelitian ini menyoroti adanya perubahan besar dalam pola global kelahiran di negara-negara berpenghasilan rendah. Dilansir dari penelitian para peneliti yang terbit di The Lancet, imbasnya akan menghasilkan kesenjangan demografis antara sebagian negara berpenghasilan rendah dan negara-negara lain di dunia.

“Di satu sisi, rendahnya tingkat kesuburan—yang mengakibatkan kontraksi dan penuaan penduduk—akan menimbulkan tantangan ekonomi yang serius dan meningkatkan tekanan pada sistem kesehatan, program jaminan sosial, dan angkatan kerja,” tulis para peneliti.

“Tren tingkat kesuburan dan kelahiran di masa depan akan menyebabkan pergeseran dinamika populasi global, mendorong perubahan pada hubungan internasional dan lingkungan geopolitik, serta menyoroti tantangan baru dalam migrasi dan jaringan bantuan global.”

Salah seorang peneliti, Stein Emil Vollset, dalam keterangan tertulis—seperti dikutip dari Newsweek—mengatakan, dunia menghadapi perubahan sosial yang mengejutkan sepanjang abad ke-21, di mana akan secara bersamaan menghadapi baby boom di beberapa negara dan baby bust di negara lain.

“Sementara sebagian besar negara di dunia menghadapi tantangan serius terhadap pertumbuhan ekonomi akibat menyusutnya angkatan kerja dan cara merawat dan membiayai populasi yang menua, banyak negara dengan sumber daya terbatas di Afrika sub-Sahara akan bergulat dengan cara memberikan dukungan kepada masyarakat yang menua,” ujar Vollset.

“Populasi termuda dengan pertumbuhan tercepat di planet ini di beberapa tempat yang paling tidak stabil secara politik dan ekonomi, mengalami tekanan panas, dan sistem kesehatan yang paling lemah di dunia."

Seorang periset dari the Institute of Economics, Geography and Demography of the Spanish National Research Council, Teresa Castro Martin, seperti dikutip dari Newsweek mengatakan, secara global tingkat kelahiran akan semakin terkonsentrasi di wilayah-wilayah di dunia yang paling rentan terhadap perubahan iklim, kelangkaan sumber daya, ketidakstabilan politik, kemiskinan, dan kematian bayi.

Newsweek menyebut, para ahli menjabarkan berbagai faktor yang berkontribusi terhadap penurunan tingkat kesuburan, mulai dari peningkatan akses terhadap kontrasepsi, peningkatan kesejahteraan ekonomi, serta penurunan angka kematian anak yang membuat kecil kemungkinan para ibu untuk punya anak lagi.

“Kebijakan nasional juga dapat memengaruhi tingkat kesuburan. Misalnya, pemerintah China menerapkan kebijakan satu anak untuk mengekang pertumbunan populasi sejak 1979 hingga 2015, yang menyebabkan penurunan kelahiran besar-besaran,” tulis Newsweek.

Sementara itu, para peneliti dalam publikasi mereka di The Lancet menambahkan, sebagian besar perubahan itu didorong oleh semakin banyaknya perempuan yang mengenyam pendidikan tinggi dan bekerja, serta akses yang lebih besar terhadap konstrasepsi yang memungkinkan perempuan memilih untuk memiliki lebih sedikit anak.

“Dalam banyak hal, penurunan tingkat kesuburan merupakan sebuah kisah sukses, yang mencerminkan tidak hanya kontrasepsi yang lebih baik dan mudah didapat, namun juga banyak perempuan yang memilih untuk menunda atau memiliki lebih sedikit anak, serta lebih banyak kesempatan untuk mendapatkan pendidikan dan pekerjaan,” kata Vollset.

Berita Lainnya
×
tekid