PSHK FH UII: Aspek politis menyelimuti perkara syarat usia capres/cawapres

Terbukti dari substansi perkara berkaitan erat dengan pencalonan/pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden Pemilu 2024.

Petugas Brimob Riau melakukan pengamanan di sekitar Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta. Antara Foto/dokumentasi

Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK FH UII), menilai dan memberikan sikap akademik terkait putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023, Mahkamah Konstitusi (MK) 
yang mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian.

Di mana dalam putusannya MK memberikan tasfir baru bahwa syarat usia calon presiden/calon wakil presiden berupa alternatif, selain usia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah, dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Menurut peneliti PSHK FH UII Yuniar Riza Hakiki, aspek-aspek nonyudiris (politis) sangat jelas lebih kental menyelimuti perkara ini, dibanding aspek dan rasionalitas yuridis. Terbukti dari substansi perkara berkaitan erat dengan pencalonan/pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden Pemilu 2024.

Selain itu, dia juga melihat rangkaian persidangan dalam beberapa perkara yang substansinya serupa, tetapi dalam waktu yang tidak berjauhan menghasilkan pendirian (amar putusan) MK yang berbeda. 

"Tampak jelas “Gerbong Majelis Hakim MK” dalam memutus, sebagaimana diungkap jelas “aib” persidangan perkara ini oleh hakim yang mempunyai pendapat berbeda. Jelas ada konstelasi hakim yang berubah dalam waktu sekejap. Padahal, tidak ada fakta-fakta penting yang berubah di tengah-tengah masyarakat dan pendiriannya tidak disertai argumentasi yang sangat kuat," papar dia dalam keterangan resminya, Selasa (17/10).