Banjir di Parapat akibat kerusakan alam sekitar Danau Toba

Ephorus Gereja HKBP meminta pemerintah pusat beri sanksi tegas perusak lingkungan di sekitar Danau Toba.

Ilustrasi deforestasi/Pixabay

Ephorus Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), Robinson Butarbutar, meminta pemerintah pusat dan daerah memberi sanksi tegas kepada pihak perusak alam di sekitar Danau Toba, Sumatera Utara. Berdasarkan investigasi Komite Gereja dan Masyarakat HBP, banjir yang terjadi pada 13 Mei terjadi di Kota Wisata Parapat merupakan dampak dari penurunan kualitas lingkungan hidup dan hutan di sekitar Danau Toba.

Dalam catatan HKBP, banjir bandang serupa sudah terjadi beberapa kali, seperti pada Desember 2018, Februari 2019, Juli 2020. Banjir mengakibatkan kerugian material di pihak masyarakat, termasuk terganggunya arus lalu lintas di daerah tersebut.

"Kami mempelajari bahwa banjir-banjir bandang ini memiliki kaitan yang erat dengan aktivitas penebangan hutan di Sitahoan dan kawasan hutan Sibatu Loting, baik untuk kepentingan hutan tanaman industri (penanaman eukaliptus), pemanfaatan kayu dan hasil hutan oleh para pengusaha lokal, ditambah oleh aktivitas pertanian masyarakat dalam skala yang jauh lebih kecil," kata Robinson dalam keterangan pers yang diterima Alinea.id, Sabtu (15/5).

Robinson menjelaskan, di Sualan sampai Tanjung Dolok, Parapat, terdapat sejumlah aliran sungai yang sumber airnya berasal dari Sitaloan dan Kawasan Hutan Sibatu Loting. Kini, bila hujan deras terjadi, sungai-sungai kecil ini akan meluap dan membawa material lumpur dan bebatuan yang sangat mengancam, seperti yang sudah terjadi berulang kali.

Menurutnya, jika degradasi hutan terus berlangsung, banjir bandang di kawasan ini akan semakin sering terjadi. "Topografi dari Danau Toba yang merupakan danau vulkanik adalah tanah berpasir dan bebatuan dan berbukit-bukit. Fakta tersebut mengingatkan semua pihak akan besarnya potensi bencana serta terpanggil untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup dan hutan," ungkap Robinson.