'Depak' RUU PKS, DPR dianggap sewenang-wenang

DPR memutuskan mencabut RUU PKS dari Prolegnas Prioritas 2020 dengan dalih sukar di tengah pandemi.

Sejumlah warga yang tergabung dalam Jakarta Feminis melakukan aksi sela CFD di Bundaran HI, Jakarta, Minggu (1/9/2019). Foto Antara/Hafidz Mubarak A.

Aliansi Gerakan Perempuan Antikekerasan (GERAK Perempuan) menilai, DPR sewenang-wenang terhadap proses demokrasi dan pemenuhan hak warga, khususnya korban kekerasan seksual. Pangkalnya, mendepak Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020 dan dengan alasan sukar dibahas.

"Itu menegaskan, bahwa DPR tidak serius menangani kekerasan seksual di Indonesia serta tidak menjalankan peran dan kewajiban untuk melindungi rakyat dengan membiarkan korban kekerasan seksual terus berjatuhan dan tidak mendapatkan keadilan," ucap perwakilan GERAK Perempuan, Nur Aini, melalui keterangan tertulis, Jumat (3/7).

Bagi GERAK Perempuan, dewan juga tidak transparan sejak proses pembahasan hingga keputusan mencabut RUU PKS dari Prolegnas Prioritas 2020, 30 Juni. Dalih pandemi dianggap hanya sebagai "kedok". Alasannya, "pembahasan belum dilakukan sejak ditetapkan menjadi Prolegnas Prioritas."

Nur menyatakan demikian, lantaran DPR mengesahkan RUU Mineral dan Batubara (Minerba) di tengah pandemi, 12 Mei. Pun terus membahas RUU Cipta Kerja (Cipker) sampai sekarang. "Kedua produk perundang-undangan ini," sambungnya, "kami nilai tidak menguntungkan rakyat."

Perwakilan GERAK Perempuan lainnya, Dian Septi, menegaskan, RUU PKS sangat penting karena menjadi upaya hukum pemulihan dan melindungi korban kekerasan. Juga memastikan korban tidak mendapatkan kekerasan berulang imbas stigma dan sistem hukum yang tidak berpihak.