Dimonopoli BRIN, PSHK: Masalahnya bukan tata kelola kelembagaan, tetapi anggaran

Arah kebijakan tersebut bukan sekadar pertimbangan teknokratik. Namun, juga bernuansa politis yang melibatkan aktor dari lembaga eksekutif.

Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Fajri Nursyamsi. Foto tangkapan layar Youtube

Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) dilebur ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Di sisi lain, semua lembaga riset baik yang berbentuk lembaga pemerintah non-kementerian (LPNK maupun badan penelitian dan pengembangan (balitbang) di kementerian dan lembaga (K/L) akan dilebur ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Fajri Nursyamsi menilai, arah kebijakan tersebut bukan sekadar pertimbangan teknokratik. Namun, juga bernuansa politis yang melibatkan aktor dari lembaga eksekutif, hingga legislatif.

Ia mengaku telah mencium aroma politis di balik langkah itu. Terutama sejak pembahasan Peraturan Presiden (Perpres) 95/2019 tentang Perubahan Perpres 74/2019 tentang BRIN selama periode 31 Desember 2019 sampai 31 Maret 2020.

Menurut Fajri, ekosistem dengan yang membagi tiga bagian, yakni BRIN, pemerintah, dan berbagai unit lembaga ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) sudah sangat ideal. Sebab, tiga kelompok tersebut memiliki fungsi terpisah satu sama lain.

“Dengan menyatukan itu (semua lembaga riset dan balitbang kementerian/lembaga) di satu lembaga (BRIN), ini kalau istilah perusahaan malah jadi monopoli. Malah menjadi semua sumber daya berkumpul di satu tempat, sehingga aturan main atau wasitnya jadi bingung,” ucap Fajri dalam diskusi Alinea Forum bertajuk ‘Harmonisasi Regulasi BRIN’, Rabu (7/6).