DPR masih salah kaprah ihwal OTT KPK teranyar

Dua OTT KPK terakhir masih dinilai hasil pelaksanaan UU KPK versi revisi yang mulai berlaku pada 18 Oktober 2019.

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyaksikan penyidik menunjukan barang bukti suap hasil OTT Bupati Sidoarjo Saiful Ilah saat memberikan keterangan pers di gedung KPK, Jakarta, Rabu (8/1/2020). Foto Antara/Indrianto Eko Suwarso

Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani mengatakan serangkaian operasi tangkap tangan atau OTT yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi baru-baru ini, merupakan buah UU KPK baru. Padahal, proses OTT yang terjadi dalam dua hari terakhir merupakan kinerja warisan dari komisioner KPK lama, saat UU KPK hasil revisi belum berlaku.

Menurut Arsul Sani, OTT yang menjerat Bupati Sidoarjo Saiful Ilah dan Komisioner KPU Wahyu Setiawan, merupakan bukti UU KPK Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang KPK, tidak melemahkan kinerja KPK. UU tersebut mulai berlaku pada 18 Oktober 2019.

"Kalau saya melihat, OTT KPK ini menjawab kekhawatiran sebagian kalangan masyarakat sipil bahwa setelah revisi UU KPK, yang kemudian melahirkan UU Nomor 19 Tahun 2019 itu, tidak akan ada atau KPK tidak bisa lagi OTT. Sekarang kan UU-nya sudah berlaku, dan terbukti dalam seminggu ini ada dua OTT," kata Arsul di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (9/1).

Dia juga mengatakan, dua OTT tersebut membuktikan mentahnya tudingan dari kelompok masyarakat sipil bahwa DPR berniat melemahkan KPK dengan mengesahkan revisi UU KPK. Ia pun meminta masyarakat berpandangan positif dan mempercayakan penegakan hukum sepunuhnya kepada KPK, Polri, maupun Kejaksaan Agung selaku penegak hukum. 

Pernyataan serupa diungkapkan Ketua KPK Firli Bahuri. Menurutnya, OTT terhadap Bupati Sidoarjo Saiful Ilah dan beberapa orang lainnya merupakan pelaksanaan dari UU KPK versi baru.