Relasi eksploitasi berkedok mitra di balik mogok kurir Shopee

Tanpa payung hukum yang jelas, pengusaha dan pemberi kerja bisa sewenang-wenang 'menghukum' para pekerja berstatus mitra.

Ilustrasi kurir jasa ekspedisi. Alinea.id/Oky Diaz

Empat bulan setelah menjadi kurir berstatus mitra di platform ekspedisi online Shopee Express (SPX), Firman mesti kian telaten mengatur pengeluaran demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hidup lebih irit terpaksa ia lakoni lantaran SPX memangkas biaya tarif bagi para kurir.

"Dari awal masuk (Desember 2020), itu (tarif dipatok) Rp2.500 (per paket). Kemarin, tanggal 5 April, setahu gue itu (turun jadi) Rp1.800 (per paket)," kata Firman saat berbincang dengan Alinea.id di Tangerang Selatan, Banten, Minggu (18/4).

Akibat pemotongan itu, Firman mengaku hanya bisa mengantongi rata-rata Rp700 ribu per pekan atau sekitar Rp2,8 juta per bulan. Komisi sebesar itu, kata dia, hampir tidak cukup untuk menambal pengeluaran bulanannya. 

Demi mendongkrak pemasukan bulanan, Firman pun kini harus bekerja lebih gesit dengan durasi jam kerja lebih lama. "Sebagai kurir, ya. Apalagi, mitra. Enggak ada gaji pokok. Mau dapat uang lebih, ya, kerja lebih," ucap dia.

Beberapa waktu lalu, warganet melaporkan aksi mogok kerja kurir SPX yang menyebabkan distribusi paket ke tangan konsumen terhambat. Aksi mogok itu dilaporkan digelar sebagai bentuk protes terhadap pemotongan komisi kurir oleh manajemen SPX, dari semula Rp5.000 menjadi Rp1.500 per paket.