sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Relasi eksploitasi berkedok mitra di balik mogok kurir Shopee

Tanpa payung hukum yang jelas, pengusaha dan pemberi kerja bisa sewenang-wenang 'menghukum' para pekerja berstatus mitra.

Achmad Al Fiqri
Achmad Al Fiqri Jumat, 23 Apr 2021 12:59 WIB
Relasi eksploitasi berkedok mitra di balik mogok kurir Shopee

Empat bulan setelah menjadi kurir berstatus mitra di platform ekspedisi online Shopee Express (SPX), Firman mesti kian telaten mengatur pengeluaran demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hidup lebih irit terpaksa ia lakoni lantaran SPX memangkas biaya tarif bagi para kurir.

"Dari awal masuk (Desember 2020), itu (tarif dipatok) Rp2.500 (per paket). Kemarin, tanggal 5 April, setahu gue itu (turun jadi) Rp1.800 (per paket)," kata Firman saat berbincang dengan Alinea.id di Tangerang Selatan, Banten, Minggu (18/4).

Akibat pemotongan itu, Firman mengaku hanya bisa mengantongi rata-rata Rp700 ribu per pekan atau sekitar Rp2,8 juta per bulan. Komisi sebesar itu, kata dia, hampir tidak cukup untuk menambal pengeluaran bulanannya. 

Demi mendongkrak pemasukan bulanan, Firman pun kini harus bekerja lebih gesit dengan durasi jam kerja lebih lama. "Sebagai kurir, ya. Apalagi, mitra. Enggak ada gaji pokok. Mau dapat uang lebih, ya, kerja lebih," ucap dia.

Beberapa waktu lalu, warganet melaporkan aksi mogok kerja kurir SPX yang menyebabkan distribusi paket ke tangan konsumen terhambat. Aksi mogok itu dilaporkan digelar sebagai bentuk protes terhadap pemotongan komisi kurir oleh manajemen SPX, dari semula Rp5.000 menjadi Rp1.500 per paket.  

 

Executive Director Shopee Indonesia, Handika Jahja membantah kabar itu. Ia menyebut operasional Shopee tidak terganggu. Handi juga mengklaim tarif pengantaran per paket kurir SPX tidak beda jauh dengan upah kurir di ekspedisi kompetitor. 

Sponsored

"Sebagai ilustrasi, rata-rata upah per paket yang ada di pasaran berkisar Rp1.700 dan Rp2.000 oleh jasa logistik lainnya," tutur Handika dalam keterangan tertulis yang diterima Alinea.id, Senin (19/4).

Kurir SPX juga bisa mendapatkan insentif tambahan jika sukses menjalankan "misi" harian. "Jika seorang mitra pengemudi SPX di wilayah Jabodetabek membawa 80 paket dalam sehari, mereka bisa mendapatkan insentif rata-rata senilai Rp2.213 untuk setiap paket," kata dia. 

Pernyataan Handika tidak sepenuhnya salah. Jika dibandingkan, komisi yang dipatok SPX untuk pengantaran per paket tidak jauh beda dengan jasa ekspedisi daring lainnya, seperti MrSpeedy dan Lalamove. Hanya saja, skema insentif yang dipakai SPX bisa dikata masih memberatkan para kurir.

Oling, seorang kurir yang sudah setahun jadi mitra di platform Lalamove, mengatakan tarif yang dipatok Shopee Express masih sedikit lebih rendah ketimbang komisi per paket yang ditetapkan penyedia jasa logistik di tempatnya bekerja. 

"(Tarif Lalamove) itu Rp2 ribu per kilometer. Tetapi, hitungannya itu, pokoknya kalau 4 kilometer ke bawah, harganya Rp8 ribu," ucap pria berusia 42 tahun itu kepada Alinea.id, Sabtu (17/4).

Sebelum di Lalamove, Oling juga sempat mencoba peruntungan di platform jasa ekspedisi MrSpeedy. Menurut dia, tarif yang dipatok MrSpeedy juga lebih baik ketimbang yang diberlakukan SPX untuk para kurirnya. 

Sebagai gambaran, MrSpeedy menetapkan tarif bagi kurir sebesar Rp6.000 per pengantaran dengan jarak per paket sekitar 4 kilometer. Bila melebihi jarak minimal itu, MrSpeedy akan memberikan tarif khusus bagi kurir.

Meski begitu, Oling mengatakan, tarif yang dipatok para penyedia jasa logistik untuk para kurirnya masih belum ideal. Seperti Firman, ia mengaku pendapatan hariannya terkadang tak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. 

Ia mencontohkan pengalamannya saat bekerja pada hari terakhir di MrSpeedy. Ketika itu, Oling hanya memperoleh komisi kurang dari Rp50 ribu. "Jaraknya (antara satu titik antar paket dengan titik lainnya) jauh-jauh lagi," ucap Oling.

Meskipun pendapatannya pas-pasan, Oling mengaku tidak punya opsi pekerjaan lain selain menjadi kurir saat pandemi seperti ini. Cara satu-satunya agar dapur bisa tetap ngebul, kata Oling, ialah bekerja jauh lebih keras saban hari. 

"Kalau mau dapat duit, berarti lu harus kerja. Tetapi, pada saat kita kerja, terus benar-benar capek, terus sakit, mereka (perusahaan jasa ekspedisi online) tidak bertanggung jawab. Tidak ada jaminan. Enggak ada yang memikirkan mitra," tutur dia.

Ilustrasi proses serah terima paket dari kurir ke konsumen. /Foto Freepik/Prostooleh

Kekosongan payung hukum

Dosen hukum ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada (UGM), Nabiyla Risfa Izzati mengatakan semua kurir jasa ekspedisi bisa saja bernasib seperti kurir-kurir SPX selama masih menyandang status sebagai mitra. 

Menurut Nabila, sistem hubungan kerja kemitraan yang dijalankan Shopee dan kawan-kawan berpedoman pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Konsep kemitraan dalam beleid itu cenderung bersifat generik. 

"Yang sekarang terjadi sekarang kan hubungan kemitraan yang sifatnya semu. Kalau ini betul-betul hubungan kemitraan, kan seharusnya para pihak seimbang. Artinya, enggak boleh tuh ada para pihak yang mengubah ketentuan salah satu pihak," ujar Nabiyla saat dihubungi Alinea.id, Senin (19/4).

Dalam UU UMKM, kemitraan dijelaskan sebagai "kerja sama dalam keterkaitan usaha, baik langsung maupun tidak langsung, atas dasar prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan yang melibatkan pelaku UMKM dengan usaha besar". 

Pada pasal 26 beleid itu, kemitraan disebut bisa dilaksanakan dengan pola inti-plasma, subkontrak, waralaba, perdagangan umum, distribusi, dan keagenan, dan bentuk-bentuk kemitraan lain, seperti bagi hasil, kerja sama operasional, usaha patungan (joint venture), dan penyumberluasan (outsourcing). 

Pola kemitraan kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 17 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan UU UMKM. Jika mengacu pada PP itu, model kemitraan yang paling mendekati antara Shopee dan mitra kurirnya ialah kemitraan bagi hasil. 

Dalam PP itu, tidak dijelaskan secara gamblang mengenai tanggung jawab usaha besar terhadap mitranya dalam kemitraan bagi hasil. Yang ditegaskan hanya adanya kontribusi dan keuntungan atau kerugian yang ditanggung masing-masing pihak sesuai perjanjian yang disepakati. 

Dengan konsep kemitraan itu, Nabiyla menilai, perusahaan merasa tidak memiliki kewajiban untuk memberikan hak-hak pekerja sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

"Nah, ini artinya menunjukan ada kekosongan hukum yang ditangkap oleh pengusaha untuk mempekerjakan seseorang tidak dengan hubungan kerja, tetapi kemitraan. Ini karena kemitraan sendiri tidak ada kejelasan hukumnya," kata dia.

Tanpa ada definisi yang jelas mengenai mitra serta aturan terkait hak-haknya, menurut Nabiyla, pihak perusahaan, penyedia jasa, dan pemilik aplikasi bisa sewaktu-waktu memberikan sanksi atau bahkan memberhentikan para mitra tanpa harus membayar kompensasi. 

Di sisi lain, mitra "besar" juga bisa mempekerjakan mitra "kecil" tanpa mesti melindunginya dengan asuransi dan memberikan insentif di luar komisi harian. 

"Ketika ini terus dibiarkan, maka kemungkinan terjadinya eksploitasi pekerja akan semakin besar, ya. Meskipun dia berada di hubungan yang tidak 100% hubungan kerja, seharusnya tetap ada dong jaminan pekerjaan yang bisa diakses," tutur Nabiyla.

Sebagai solusi, Nabiyla mengusulkan agar pemerintah membuat aturan baru atau merevisi aturan yang ada dan memasukkan kategori hubungan kerja mitra secara rinci dalam produk regulasi tersebut. Dalam hal ini, Indonesia bisa mencontoh kategori pekerja mitra yang diterapkan di Inggris. 

"Di Inggris sendiri, ada tiga jenis sebutan bagi pekerja, yaitu self employed yang artinya orang dalam hubungan kemitraan. Kemudian, orang-orang yang dalam hubungan kerja tetapi tidak mendapatkan hak secara penuh dan employed yang artinya orang-orang yang mendapatkan hak jaminan ketenagakerjaan secara utuh," terang Nabiyla.

Relawan organisasi Pelmas BPD Bekasi GBI bersama Tagana Rajawali membagi-bagikan makan siang gratis kepada pengemudi ojek online di Bekasi, Jawa Barat, Kamis (2/4). /Foto Antara

Urgensi regulasi baru

Pengamat ketenagakerjaan dari UGM, Tadjudi Noer Effendi sepakat perlu ada perubahan regulasi ketenagakerjaan untuk mengatur hubungan mitra kerja di era digital. Menurut dia, aturan yang ada sekarang tidak lagi memadai untuk meregulasi hubungan kerja para mitra dan melindungi para pekerja jenis baru.   

"Karena perubahan teknologi, kemudian ciptalah peluang-peluang tenaga kerja, termasuk pekerja lepas, seperti ojek, kurir tadi. Itu harus ada payung hukumnya untuk melindungi. Kalau enggak, nanti itu bisa jadi objek eksploitasi," tegas Tadjudin kepada Alinea.id. 

Anggota Komisi IX DPR RI Darul Siska mengatakan DPR bakal mengkaji usulan pembentukan regulasi baru untuk melindungi pekerja berstatus mitra. Ia menilai keberadaan payung hukum yang jelas bisa melindungi pekerja dari kesewenang-wenangan. 

"Kami akan mempelajari hal ini dan mendiskusikan dengan Kementerian Ketenagakerjaan dengan suatu prinsip semua orang berhak mendapat pekerjaan yang layak dan orang yang bekerja perlu mendapat perlindungan hukum dan kepastian hukum dalam menjalankan pekerjaannya," ujar politikus Golkar itu. 

Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah menilai perlindungan pekerja hubungan mitra telah diatur dalam UU UMKM dan UU Cipta Kerja. Namun demikian, Ida terbuka terhadap berbagai kritik dan saran untuk perbaikan regulasi. 

"Usulan sejumlah akademisi dan pengamat ketenagakerjaan terkait payung hukum dalam hubungan kemitraan tersebut akan menjadi bahan pertimbangan kami," ujar Ida melalui pesan singkat kepada Alinea.id, Selasa (20/4).

Ida juga terbuka terhadap gagasan pemberian perlindungan kesehatan dan ketenagakerjaan bagi pekerja berstatus mitra. Itu bisa dilakukan dengan mewajibkan pemberi kerja untuk mengikutsertakan para mitra dalam program jaminan sosial kesehatan dan jaminan sosial ketenagakerjaan.

"Hal ini penting untuk dapat meng-cover risiko-risiko sosial yang mungkin akan terjadi saat mitra bekerja. Kepesertaan tersebut tentunya akan lebih mudah bila dilakukan inisiasi dari perusahaan melalui kerja sama dgn BPJS Kesehatan maupun BPJS Ketenagakerjaan," kata Ida.
 

Berita Lainnya
×
tekid