YLBHI beberkan faktor-faktor maraknya rekayasa kasus, termasuk pembunuhan Brigadir J

Terjadi 102 kasus kekerasan dan penyiksaan terhadap 1.088 korban di 17 wilayah sepanjang 2019-2021. 

Polisi melakukan kekerasan kepada mahasiswa (almamater biru) yang sedang melakukan aksi di depan kantor DPRD Sulsel, Kota Makassar, pada Selasa (24/9/2019). Foto Antara/Abriawan Abhe

Kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nopryansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J di rumah dinas bekas Kadiv Propam Polri, Irjen Ferdy Sambo, akhirnya terkuak. Padahal, awalnya diklaim berawal tembak-menembak antara korban dengan seorang tersangka, Bharada Richard Eliezer atau Bharada E.

Mulanya, rekayasa tembak-menembak itu disebut dimotori pelecehaan seksual kepada istri Sambo, Putri Candrawathi. Rekayasa digenapi dengan upaya pembersihan barang bukti di tempat kejadian perkara (TKP) dibersihkan oleh puluhan personel, yang membuat pengusutan menjadi tak profesional.

Namun, hal itu akhirnya terbantahkan seiring bersuaranya Bharada E. Bahkan, Polri telah menyetop pengusutan laporan dugaan pelecehan tersebut.

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyatakan, pola-pola rekayasa kasus seperti ini bukan pertama kalinya terjadi. Umumnya, menurutnya, pola rekayasa kasus dilatarbelakangi adanya serangkaian tindakan kekerasan, penyiksaan, hingga pembunuhan di luar proses hukum (extrajudicial killing). 

Padahal, terang YLBHI, Indonesia memiliki Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Antipenyiksaan. Sayangnya, alas hukum tersebut belum menjadi rujukan atas terjadinya tindakan penyiksaan.