close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Presiden Prabowo Subianto melantik keanggotaan Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) di Istana Merdeka, Jakarta, pada Jumat, 7 November 2025. Dalam keterangannya, Jimly Asshiddiqie, Ketua Komisi Percepatan Reformasi Polri menegaskan komisi akan segera mulai bekerja secara efektif dan terbuka dalam merumuskan rekomendasi kebijakan untuk mempercepat reformasi Polri. Foto: presidenri.go.id.
icon caption
Presiden Prabowo Subianto melantik keanggotaan Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) di Istana Merdeka, Jakarta, pada Jumat, 7 November 2025. Dalam keterangannya, Jimly Asshiddiqie, Ketua Komisi Percepatan Reformasi Polri menegaskan komisi akan segera mulai bekerja secara efektif dan terbuka dalam merumuskan rekomendasi kebijakan untuk mempercepat reformasi Polri. Foto: presidenri.go.id.
Peristiwa
Sabtu, 08 November 2025 20:24

Tak sekadar seremonial, Tim Reformasi Polri diharapkan perkuat sistem pengawasan

Tim Reformasi Polri diharapkan memperkuat sistem pengawasan anggota Polri guna menghindari penyalahgunaan wewenang.
swipe

Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Iftitahsari mendorong Komisi Percepatan Reformasi Polri bentukan Presiden Prabowo, untuk mereformasi Polri secara subtansial yang memperkuat sistem pengawasan anggota Polri guna menghindari penyalahgunaan wewenang.

Diketahui, Presiden Prabowo Subianto membentuk Komisi Percepatan Reformasi Polri melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 122P Tahun 2025 tentang Pengangkatan Keanggotaan Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian pada Jumat, 7 November 2025. Tim tersebut beranggotakan 10 orang yang diketuai oleh mantan Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2003–2008, Jimly Asshiddiqie.

Adapun sembilan anggota komisi lainnya yakni Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo; Penasihat Khusus Presiden Bidang Keamanan dan Ketertiban Masyarakat dan Reformasi Kepolisian Ahmad Dofiri; Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra; Wakil Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Otto Hasibuan.

Selanjutnya ada Menteri Dalam Negeri sekaligus Kapolri periode 2016–2019 Jenderal Pol. (Purn.) Tito Karnavian; Menteri Hukum Supratman Andi Agtas; mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan periode 2019–2024 sekaligus Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2008–2013 Mahfud MD, mantan Kapolri periode 2019–2021 Jenderal Pol. (Purn.) Idham Aziz; dan mantan Kapolri periode 2015–2016 Jenderal Pol. (Purn.) Badrodin Haiti.

Iftitahsari memandang tim reformasi bentukan Prabowo harus menitikberatkan pada reformasi yang substansial bukan sekadar upaya seremonial semata. Kewenangan kepolisian yang terlampau besar sudah sering disalahgunakan, terutama dalam aspek penegakan hukum.

Ia berpendapat praktik buruk kepolisian yang terjadi saat ini berakar dari tidak adanya pengawasan yang berarti hingga melahirkan impunitas yang akut. Salah satu kewenangan yang dimiliki kepolisian saat ini adalah melakukan serangkaian tindakan pada tahap penyelidikan untuk mengonfirmasi ada tidaknya tindak pidana. Langkah ini merupakan fase paling rentan terjadi penyalahgunaan kekuasaan dimana serangkaian tindakan tersebut justru malah mengarah pada penjebakan untuk menciptakan adanya tindak pidana itu sendiri. 

"Dalam praktiknya, banyak kasus kriminalisasi dan pelanggaran HAM (hak asasi manusia) berawal dari proses penyelidikan yang tidak transparan dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Tanpa adanya pengawasan yudisial terhadap tindakan-tindakan aparat yang termasuk dalam tahap penyelidikan, ruang-ruang penyalahgunaan oleh polisi akan terus terbuka," kata Iftitahsari melalui keterangan pers yang diterima Alinea.id, Jumat (7/11).

Iftitahsari mengatakan, ICJR mendesak agar Tim Percepatan Reformasi Polri bentukan Presiden Prabowo transparan mendorong perubahan fundamental dalam RUU KUHAP, dengan memastikan ada check and balance untuk setiap tindakan yang dilakukan polisi tidak terkecuali dalam tahapan penyelidikan. 

Selain itu, ICJR juga mengamanatkan habeas corpus sebagai hak konstitusional dalam RUU KUHAP, yaitu kewajiban polisi menghadapkan orang yang ditangkap sesegera mungkin (tidak lebih dari 48 jam) ke hadapan hakim. Kemudian, ICJR juga mendorong konsep judicial scrutiny dalam setiap pembatasan hak, setiap kewenangan upaya paksa harus berdasarkan izin dari lembaga yang independen dan imparsial yaitu pengadilan. 

"Tanpa perubahan struktural yang menyentuh akar masalah, reformasi kepolisian hanya akan menjadi retorika belaka. RUU KUHAP menjadi instrumen paling strategis untuk merealisasikan perubahan fundamental ini dengan semangat due process of law dan perlindungan HAM," kata Iftitahsari.

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
sat
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan