close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Presiden Prabowo Subianto melantik keanggotaan Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) di Istana Merdeka, Jakarta, pada Jumat, 7 November 2025. Dalam keterangannya, Jimly Asshiddiqie, Ketua Komisi Percepatan Reformasi Polri menegaskan komisi akan segera mulai bekerja secara efektif dan terbuka dalam merumuskan rekomendasi kebijakan untuk mempercepat reformasi Polri. Foto: presidenri.go.id.
icon caption
Presiden Prabowo Subianto melantik keanggotaan Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) di Istana Merdeka, Jakarta, pada Jumat, 7 November 2025. Dalam keterangannya, Jimly Asshiddiqie, Ketua Komisi Percepatan Reformasi Polri menegaskan komisi akan segera mulai bekerja secara efektif dan terbuka dalam merumuskan rekomendasi kebijakan untuk mempercepat reformasi Polri. Foto: presidenri.go.id.
Kolom
Rabu, 19 November 2025 18:17

Pengesahan RKUHAP: Paradoks reformasi kepolisian

Reformasi kepolisian bukan hanya soal pembentukan tim atau perubahan struktur, tetapi soal perubahan relasi kuasa antara negara dan rakyat.
swipe

Presiden Prabowo Subianto, pada 7 November 2025, melantik sepuluh tokoh nasional sebagai anggota Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian Republik Indonesia. Langkah ini secara normatif tampak progresif: sebuah respon terhadap krisis kepercayaan publik terhadap institusi Polri, terutama pasca gelombang unjuk rasa besar-besaran pada Agustus 2025 yang menuntut akuntabilitas dan transparansi aparat penegak hukum.

Namun, idealisme reformasi ini segera berhadapan dengan kenyataan pahit. Hanya berselang beberapa waktu, Dewan Perwakilan Rakyat secara diam-diam dan super kilat mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang justru memperkuat, memperluas, dan melegitimasi kewenangan aparat kepolisian—bahkan hingga titik yang rawan disalahgunakan. Ini bukan sekadar ironi. Ini adalah paradoks struktural yang bisa membajak semangat reformasi sejak dari akarnya.

Antara Retorika Reformasi dan Legislasi Kontra-Reformasi

Di satu sisi, Komisi Reformasi Polri dibentuk sebagai lembaga independen untuk mengevaluasi dan menyusun strategi perbaikan sistemik di tubuh kepolisian. Presiden menekankan pentingnya kajian objektif, tajam, dan mendalam dalam membenahi institusi ini. Namun, kehadiran RKUHAP yang baru justru menyusupkan kembali—bahkan mempermanenkan—praktik-praktik hukum yang selama ini menjadi sumber ketidakpercayaan publik terhadap kepolisian.

Berikut adalah beberapa pasal bermasalah dalam RKUHAP yang memperlihatkan kecenderungan otoritarianisme prosedural:

1. Pasal 23 – Tidak adanya kejelasan tindak lanjut laporan membuka celah bagi aparat untuk mengabaikan laporan warga, terutama dari korban kekerasan seksual. Ini jelas kontra dengan semangat reformasi yang menuntut keberpihakan pada korban.

2. Pasal 149-154 – Peran hakim dipersempit dalam proses penyidikan. Kontrol yudisial melemah, membuka ruang bagi penyidik bertindak tanpa pengawasan efektif.

3. Pasal 85-112 – Upaya paksa seperti penangkapan dan penggeledahan tidak memiliki batasan operasional yang jelas. Hukum acara tanpa pengamanan hak asasi adalah pisau tanpa sarung: tajam, berbahaya, dan rawan melukai siapa saja.

4. Pasal 16 – Metode investigasi khusus diizinkan tanpa pengawasan hakim. Teknik seperti undercover operation bisa digunakan sebagai jebakan hukum.

5. Pasal 134–139, dst. – Hak-hak korban dan saksi diakui secara normatif, namun nihil mekanisme implementasi. Ini menjadikan hak tersebut sekadar dekoratif.

6. Pasal 33, 197, dst. – Peran advokat dipersempit, mengganggu keseimbangan proses peradilan.

Ironinya, ketika publik menginginkan polisi yang lebih transparan dan humanis, justru diundangkan regulasi yang memantapkan kedudukan aparat dalam posisi dominan—tanpa koreksi, tanpa pengawasan berarti.

Reformasi Dibelokkan?

Pengesahan kilat RKUHAP menimbulkan kecurigaan mendasar: apakah langkah ini dimaksudkan untuk mengunci posisi Polri dalam sistem hukum yang konservatif dan represif sebelum Komisi Reformasi sempat bekerja? Atau lebih jauh lagi, mungkinkah RKUHAP sengaja dirancang sebagai tameng hukum yang melindungi status quo institusi kepolisian?

Jika demikian, Komisi Reformasi Polri akan menjadi semacam “hiasan demokratis” di tengah realitas kebijakan yang otoriter. Bahkan, keberadaan komisi itu sendiri dapat tereduksi menjadi upaya kosmetik untuk meredam tekanan publik, alih-alih mewujudkan perubahan substansial.

Penutup: Perlu Kecermatan dan Desakan Publik

Publik perlu bersikap kritis dan cermat membaca dinamika ini. Tidak cukup hanya berharap pada komisi reformasi yang beranggotakan tokoh-tokoh mumpuni. Tanpa dukungan politik yang nyata dan kesadaran kolektif masyarakat, komisi ini akan bekerja di atas fondasi hukum yang sudah dilumpuhkan.

Reformasi kepolisian bukan hanya soal pembentukan tim atau perubahan struktur, tetapi soal perubahan relasi kuasa antara negara dan rakyat. Jika RKUHAP dibiarkan berlaku dalam bentuknya yang sekarang, maka kita sedang menyaksikan reformasi yang dibelokkan: wajah baru, tapi jiwa lama.

img
Ismail Rumadan
Kolomnis
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan