"Karena tak sesuai kebijakan BRIN, Ina-TEWS tak dirawat dan mangkrak..."

Pengembangan sistem peringatan dini tsunami lewat program strategis nasional berhenti setelah beralih ke BRIN.

Ilustrasi buoy yang terdampar. Foto Pixabay.

Enam buoy masih berada di tengah laut. Akan tetapi, pelampung pendeteksi tsunami itu sudah tidak lagi mengirimkan data. Baterai yang habis membuat buoy tidak lagi berfungsi dalam mengirim data, bahkan keberadaannya juga tidak bisa dipantau ada di mana.

Tidak hanya itu. Sistem deteksi tsunami berbasis teknologi tomografi akustik pesisir bernama Indonesia Coastal Acoustic Tomography (Ina-CAT) malah sudah tidak berfungsi sejak Desember 2021. Tidak pernah dilakukan perbaikan terhadap piranti itu.

Satu-satunya yang masih mengirimkan data ke Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) adalah tsunamimeter berbasis kabel bernama Indonesia Cable Based Tsunameter (Ina-CBT) di utara Labuhan Bajo. Ini karena Ina-CBT tak ada masalah energi.

Akan tetapi, menurut peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN yang tak mau disebut namanya, ia tidak tahu apakah data itu digunakan dalam operasional deteksi tsunami oleh BMKG atau hanya untuk riset. Sejak Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) diintegrasikan ke BRIN, konsorsium yang mengembangkan Indonesia Tsunami Early Warning System (Ina-TEWS) atau sistem peringatan dini tsunami sudah tak berfungsi lagi.

Konsorsium ini dibentuk lewat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 93 Tahun 2019 tentang Penguatan dan Pengembangan Sistem Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami. Lewat Perpres itu, BPPT bersama Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), BMKG, dan Badan Informasi Geospasial (BIG) ditugaskan melakukan penguatan dan pengembangan sistem informasi peringatan dini gempa bumi dan tsunami.