Kasus Ba’asyir harus dijauhkan dari tendensi politik

Wacana pemindahan Ba’asyir jadi tahanan rumah, permohongan grasi, dan perawatan di RSCM adalah persoalan hukum.

Terpidana kasus terorisme, Abu Bakar Baasyir (kiri) dengan pengawalan petugas./ Antarafoto

Sejumlah media santer mewartakan tentang ancaman terorisme yang mungkin terjadi di tahun politik. Bahkan beberapa pihak kerap mengaitkannya dengan tindakan cipta kondisi yang sistematis, untuk memproduksi ketakutan massal. Beberapa penyerangan dan aksi vigilante yang menyasar kalangan beragama, yang terjadi belakangan dianggap sebagai teror yang bernuansa politis. Apalagi momentumnya pas mendekati pelaksanaan pilkada 2018 dan pilpres 2019.

Bahkan Ketua Umum PPP M Romahurmuziy menyamakan kondisi sekarang dengan sejarah jelang keruntuhan Soeharto tahun 1998. Kala itu, cipta kondisi beraneka rupa, termasuk memunculkan operasi hitam yang menyasar ulama demi mempertahankan rezim.

Berangkat dari ketakutan itu, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Wiranto menegaskan, kasus Ba’asyir sama sekali tidak bernuansa politik. Menurutnya itu harus didudukkan dalam bidang hukum dan dijauhkan dari hingar-bingar politik, termasuk ketakutan akan cipta kondisi dan terorisme jelang pemilu.

Ada atau tidak ada pemilu, lanjut Wiranto, prosesi hukum pengurus Pesantren Ngruki, Jawa Tengah itu akan tetap dilanjutkan. "Publik harus menghindari membawa isu ini ke ranah politik, sebab ini adalah persoalan hukum,” tegasnya.

Terkait dengan putusan pemindahan menjadi tahanan rumah, politisi Hanura itu mengaku akan mendiskusikannya terlebih dahulu dengan institusi terkait. Sebab menurutnya, dari sisi fasilitas, penjara tempat ditahannya Ba’asyir dinilai cukup baik.