sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Jelang pemilu, negara rawan teror

Ada dugaan sejumlah teror yang terjadi belakangan ini, dibuat untuk menciptakan ketakutan dan mengganggu stabilitas politik jelang pemilu.

Purnama Ayu Rizky
Purnama Ayu Rizky Senin, 12 Feb 2018 13:25 WIB
Jelang pemilu, negara rawan teror

Sejumlah teror terjadi jelang pesta demokrasi akbar 2018 dan 2019. Salah satunya adalah penyerangan terhadap jemaat yang tengah melakukan misa pagi di Gereja St. Lidwina, Gamping, Sleman. Penyerangan yang dilakukan pelajar asal Banyuwangi, Suliono (16) pada Minggu (11/2) ini melukai 2 jemaat gereja, 1 polisi, dan 1 pendeta. Pelaku yang kini masih kritis, belum bisa dimintai keterangan mengenai motif penyerangan.

Sebelumnya, pada Senin (29/1) kejadian vigilante berupa pembubaran acara bakti sosial juga terjadi di Gereja Katolik St Paulus Pringgolayan, Banguntapan, Bantul. Pelakunya, sebanyak 50-an orang laskar Front Jihad Islam (FJI), Forum Umat Islam (FUI), dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Dikutip dari rilis Setara Institute, pelaku menuding acara bakti sosial tersebut sebagai agenda kristenisasi. Padahal, acara ini merupakan bagian dari rangkaian peringatan catur windu (32 tahun) Gereja Katolik St Paulus dan peresmian paroki, dari paroki administratif menjadi paroki mandiri.

Di tempat terpisah, juga terjadi penyerangan yang menyasar para pemuka agama di Bandung. Kasus pertama dialami KH Umar Basri pimpinan Pondok Pesantren Al Hidayah Cicalengka, yang dianiaya di dalam masjid oleh pria diduga gila. Selanjutnya kasus penganiayaan terhadap ustaz Prawoto (40), Komandan Brigade Persatuan Islam (Persis), yang dianiaya hingga tewas oleh tetangganya pengidap kelainan jiwa, Asep Maftuh (45).

Beberapa penyerangan dan aksi vigilante yang menyasar kalangan beragama, menurut Ketua Umum PPP M Romahurmuziy dianggap sebagai prakondisi atau cipta kondisi. Tujuan cipta kondisi ini adalah untuk mendestabilisasi atau upaya membuat situasi kacau jelang Pilkada 2018 maupun Pemilu Presiden (Pilpres) 2019.

"Saya menduga ini bukan kebetulan, ini adalah serangkaian kegiatan sistematis yang ditujukan untuk mendestabilisasi situasi dan kondisi," katanya, dilansir dari Antara.

Berdasarkan pengalaman sejarah, Romy mengungkapkan, jelang Presiden Soeharto jatuh pada tahun 1998, cipta kondisi beraneka rupa. Kala itu, muncul operasi hitam yang menyasar ulama demi mempertahankan rezim. Alhasil, muncul kesan kebutuhan pada seorang pemimpin yang memiliki latar belakang kuat seperti Soeharto.

Cipta kondisi ini kemudian direpetisi di era pasca reformasi. Jelang pemilu 2004, aksi teror memang tiarap. Namun pada 2005, teror justru muncul di Bali. Mengutip Antara, teroris waktu itu sengaja menghindari pesta demokrasi, untuk tujuan penciptaan ketakutan yang lebih besar sesudahnya. “Mereka memanfaatkan momentum lengahnya aparat keamanan, dengan bergerak menciptakan teror sesaat setelah pemilu,” ungkap pengamat terorisme Noor Huda Ismail.

Pada pemilu 2009, teror juga diciptakan sporadis di daerah-daerah, termasuk di Aceh di mana kantor Partai Nasdem diserang dengan tembakan. Beberapa hari pasca pemilu pun, Jakarta juga diguncang bom yang menewaskan 3 orang, tepatnya di Hotel JW Marriot dan Ritz-Carlton.

Sponsored

Untuk 2014, jumlah teror memang tak sebanyak tahun-tahun politik sebelumnya. Namun kejadian teror kecil tetap terjadi, khususnya di daerah rentan konflik seperti Aceh dan Poso. Lompat ke tahun 2017, aksi teror mulai marak kembali. Motif dan sasaran penyerangan, umumnya mengarah pada kelompok agama tertentu. Ironisnya lokasi penyerangan justru di kota yang digadang-gadang menjadi kota toleran, seperti Bandung dan Yogyakarta.

Menurut mantan Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN) Sutiyoso, tindakan penyerangan yang mengarah pada penciptaan teror sangat disayangkan. “Ini merupakan kejadian nasional dan memang rentan terjadi pada momentum akbar, termasuk hari raya maupun pemilu. Motifnya bisa bermacam-macam, tapi umumnya untuk menimbulkan keresahan dan ketakutan di tengah masyarakat,” ungkapnya pada Alinea pada Senin (12/2).

Terorisme semacam ini, lanjutnya, harus ditindak dengan cepat. “Dibutuhkan peran kepala daerah beserta segenap instansi terkait untuk memadamkan api di daerahnya masing-masing. Jangan tunggu api besar dulu, baru teriak-teriak. Manfaatkan forum lintas agama, apabila kejadian intoleransi yang mengarah pada teror mencuat,” tuturnya.

Berita Lainnya
×
tekid