Kaum disabilitas, bekerja dalam bayang-bayang diskriminasi

Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 cukup kuat sebagai payung hukum perlindungan hak-hak penyandang disabilitas, terutama terkait pekerjaan.

Ilustrasi disabilitas. Alinea.id/Oky Diaz.

Seolah tak ada yang berbeda dengan keberadaan sebuah kedai kopi di bilangan Jalan Duren Tiga, Jakarta Selatan ini. Kedai kopi itu berada di sebuah ruangan bangunan kompleks perkantoran. Ruangannya hanya sekitar 4 x 9 meter. Di sini, tersedia minuman yang memadukan kopi dan susu.

Kedai ini bernama Koptul (Kopi Tuli). Yang membedakan dengan kedai kopi lainnya, di sini seluruh karyawannya disabilitas tuli. Bukan cuma karyawannya, tiga penggagas Koptul, yakni Adhika Prakoso, Mohammad Erwinsyah Putra, dan Putri Santoso, juga tunarungu.

“Koptul beroperasi sejak 12 Mei 2018,” kata Putri dengan bahasa isyarat, diterjemahkan suaminya, Terry Eduard, saat ditemui reporter Alinea.id di Koptul, Jakarta Selatan, Kamis (30/1).

Ia mengatakan, Koptul adalah milik teman tuli—istilah Putri dan teman-temannya untuk menyebut disabilitas tuli. “Kami cuma co-founder,” ujar Putri, seperti diterjemahkan Terry.

Para pekerja Koptul direkrut dengan siklus 3T, yakni talenta, tuli, dan terampil. Terry mengatakan, Putri lebih sering mengandalkan teman-temannya sesama tunarungu untuk menjaring calon barista Koptul. Hingga kini, selain tiga penggagasnya, Koptul mempekerjakan enam barista. Selain di Duren Tiga, kedai Koptul juga ada di Cinere, Depok.