Keramat Rempang-Galang: Biar mati berdiri, daripada hidup bertekuk lutut

Juru Bicara Kekerabatan Masyarakat Adat Tempatan (Keramat) Rempang-Galang, Suhardi, mengulik sejarah Pulau Rempang,

Aksi sejumlah masyarakat yang mencoba menghalangi jalannya personel keamanan gabungan. Foto: Batamnews

Proyek Strategis Nasional (PSN) ambisius dari rezim Jokowi kembali menelan korban. Kali ini, dialami oleh ribuan warga di Pulau Rempang, Batam, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Setidaknya 7.000 korban jiwa terancam digusur dari tempat tinggal dan ruang hidupnya akibat proyek pengembangan Rempang Eco-City sebagai PSN.

Tepatnya, pada Kamis (7/9) pekan lalu, pihak Badan Pengusahaan (BP) Batam dikawal ribuan aparat gabungan dari Kepolisian Daerah Kepri dan unit keamanan lainnya memaksa masuk ke perkampungan warga untuk melakukan pengukuran dan pemasangan patok batas. Ribuan warga Rempang menolak upaya paksa tersebut, yang mengakibatkan terjadinya kekerasan dan kriminalisasi terhadap warga Rempang. Tidak terkecuali anak-anak dan perempuan turut menjadi korban.

Hingga saat ini situasi masih penuh dengan ancaman dan intimidasi yang memicu gelombang protes dari warga. Menyikapi kondisi terkini, Solidaritas Nasional untuk Rempang menggelar jumpa pers daring, Selasa (12/9).

Diketahui, pada 28 Agustus 2023, Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Airlangga Hartarto resmi menerbitkan Permenko Bidang Perekomian nomor 7 tahun 2023 tentang penetapan Proyek Strategis Nasional yaitu pengembangan Rempang Eco-City, yang menjadi lokasi konflik pada saat ini. Satu pekan setelah terbitnya Permenko tersebut, BP Batam dikawal ribuan aparat gabungan Polda Kepri, TNI, dan Satpol PP memaksa masuk ke perkampungan warga.

Menurut informasi, mereka akan melakukan pematokan dan pengukuran tanah yang dikuasai dan ditempati oleh warga. Warga yang menolak tanah mereka untuk diukur, karena tidak atas persetujuan dan tidak ada pemberitahuan, melakukan perlawanan terhadap upaya semena-mena.