sun
moon
a l i n e a dot id
fakta data kata
logo alinea.id

Keramat Rempang-Galang: Biar mati berdiri, daripada hidup bertekuk lutut

Juru Bicara Kekerabatan Masyarakat Adat Tempatan (Keramat) Rempang-Galang, Suhardi, mengulik sejarah Pulau Rempang,

Arpan Rachman
Arpan Rachman Selasa, 12 Sep 2023 21:41 WIB
Keramat Rempang-Galang: Biar mati berdiri, daripada hidup bertekuk lutut

Proyek Strategis Nasional (PSN) ambisius dari rezim Jokowi kembali menelan korban. Kali ini, dialami oleh ribuan warga di Pulau Rempang, Batam, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Setidaknya 7.000 korban jiwa terancam digusur dari tempat tinggal dan ruang hidupnya akibat proyek pengembangan Rempang Eco-City sebagai PSN.

Tepatnya, pada Kamis (7/9) pekan lalu, pihak Badan Pengusahaan (BP) Batam dikawal ribuan aparat gabungan dari Kepolisian Daerah Kepri dan unit keamanan lainnya memaksa masuk ke perkampungan warga untuk melakukan pengukuran dan pemasangan patok batas. Ribuan warga Rempang menolak upaya paksa tersebut, yang mengakibatkan terjadinya kekerasan dan kriminalisasi terhadap warga Rempang. Tidak terkecuali anak-anak dan perempuan turut menjadi korban.

Hingga saat ini situasi masih penuh dengan ancaman dan intimidasi yang memicu gelombang protes dari warga. Menyikapi kondisi terkini, Solidaritas Nasional untuk Rempang menggelar jumpa pers daring, Selasa (12/9).

Diketahui, pada 28 Agustus 2023, Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Airlangga Hartarto resmi menerbitkan Permenko Bidang Perekomian nomor 7 tahun 2023 tentang penetapan Proyek Strategis Nasional yaitu pengembangan Rempang Eco-City, yang menjadi lokasi konflik pada saat ini. Satu pekan setelah terbitnya Permenko tersebut, BP Batam dikawal ribuan aparat gabungan Polda Kepri, TNI, dan Satpol PP memaksa masuk ke perkampungan warga.

Menurut informasi, mereka akan melakukan pematokan dan pengukuran tanah yang dikuasai dan ditempati oleh warga. Warga yang menolak tanah mereka untuk diukur, karena tidak atas persetujuan dan tidak ada pemberitahuan, melakukan perlawanan terhadap upaya semena-mena.

Pada Kamis (7/9), meletus peristiwa yang tidak manusiawi di mana puluhan warga mengalami tindak kekerasan dan kriminalisasi. Banyak perempuan dan anak kecil yang terpaksa menjadi korban dari tembakan gas air mata yang dilontarkan polisi.          

Juru Bicara Kekerabatan Masyarakat Adat Tempatan (Keramat) Rempang-Galang, Suhardi, mengulik sejarah Pulau Rempang: "Dari 16 titik Kampung Tua itu, jauh sebelum Indonesia merdeka, kita sudah bagian dari sebuah kerajaan yaitu Kesultanan Riau Lingga. Kampung-kampung itu didirikan nenek moyang kami dari tahun 1843 menjadi suatu warisan yang tidak boleh kami hilangkan karena itu merupakan amanat zuriyat dari seorang moyang kami yang bernama Panglima Galang. Di samping itu juga nenek moyang kami menjadi pahlawan bagi kami di Kepulauan Riau."

Suhardi meneruskan, setelah Indonesia merdeka, daerah mereka termasuk ke dalam wilayah Tingkat II Kabupaten Kepri, yang beribu kota provinsi di Riau daratan di Pekan Baru. Setelah itu pasca-Reformasi Pulau Rempang dimekarkan menjadi Kecamatan Galang yang dimasukkan dalam pemekaran Kota Batam.

Sponsored

"Saat itu kami melihat sudah mulai ada kesenjangan. Seluruh tanah kami itu ada surat edaran dari pemerintah kota -- kalau tidak salah di tahun 2004 -- pejabat pembuat akta tanah, RT, RW, Lurah, dan Camat tidak boleh mengetahui atas tanah yang kami miliki. Jadi kami menjadi tidak berdaya dengan itu, hanya saja untungnya masyarakat Rempang yang sampai hari ini masih punya SKRT (Surat Keterangan Riwayat Tanah), yang dikeluarkan Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten  Kepulauan Riau," sambungnya.

Sebagai bagian dari zuriyat awal di Pulau Rempang, kampung-kampung yang mereka tempati di 16 titik Kampung Tua itu betul-betul kampung yang bersejarah. Eksistensi kekerabatan itu sudah berlangsung ratusan tahun.

Setelah wacana Pemerintah Kota Batam menetapkan Pulau Rempang menjadi bagian Proyek Strategis Nasional, awalnya masyarakat merasakan kebanggaan yang luar biasa. Karena, banyak yang berpikir, paling tidak kesejahteraan meningkat dan angka pengangguran akan berkurang.

"Tapi di sisi lain kita menilai terlalu berlebihan program itu dilakukan. Sangat tidak sesuai dengan konstitusi yang ada. Tanah-tanah yang kami miliki lebih dari 40-50 tahun yang silam, itu seakan-akan kami tidak ada menggarap di situ, hak garap masyarakat yang sampai hari ini belum ada kata sepakat," kata Suhardi.

Ditambahkan, dari beberapa kali pertemuan, mulai Desember 2022, tetap saja pemerintah bersikeras menekankan akan ada relokasi. Jauh sebelumnya warga setempat sudah menyampaikan bahwa mereka tidak bersedia relokasi karena menimbang nilai sejarah yang harus dipertahankan.

Sebelumnya, di sela pertemuan kecil dengan pejabat BP Batam, Suhardi menyampaikan bahwa ini bukan sekadar persoalan pindah. Bila tawaran relokasi itu disepakati, marwah masyarakat tidak mungkin terjaga dan silsilah kampung juga akan lenyap.

"Jadi kami tetap bertahan. Kami tidak menilai berapa pun uangnya. Sikap kami dari Keramat, pada intinya kami akan tetap mempertahankan itu sampai kapanpun. Ibarat kata-kata Melayu: Biarlah kami mati berdiri daripada kami hidup berlutut," tegasnya.

Menyinggung kejadian mengenaskan Kamis berdarah pekan lalu, Suhardi menguraikan: "Begitu sampai ke Jembatan Empat, tidak ada negosiasi, (pasukan) mereka jalan, masyarakat bertahan, terjadilah bentrok-bentrok kecil diwarnai lemparan batu. Tak lama kemudian, berselang satu-dua menit, langsung tembakan gas air mata itu sudah terlontar. Akhirnya terjadi kericuhan yang sangat luar biasa, yang saya rasakan, namun yang paling disesali (pasukan) mereka mengarahkan tembakan gas itu ke sekolah-sekolah. Lebih dari 25 siswa yang dilarikan ke rumah sakit."

Jubir Keramat itu mengimbau Kapolri agar mendengarkan kata masyarakat mengenai apa yang terjadi. "Itu akan merusak image insitusi. Kami mengutuk keras kejadian ini," pungkasnya.

Bantahan polisi

Kepolisian membantah adanya korban dari peristiwa kericuhan di Rempang, Batam, Kepulauan Riau. Kondisi kini telah kembali kondusif.

Karopenmas Divisi Humas Polri, Brigjen Ahmad Ramadhan mengatakan, para siswa mengalami gangguan penglihatan akibat gas air mata yang tertiup angin hingga ke sekolah. Pihak kepolisian telah membawa para siswa ke tim kesehatan untuk penanganan medis.

"Yang ada, karena tindakan pengamanan oleh aparat kepolisian dengan menyemprotkan gas air mata, ketiup angin sehingga terjadi gangguan pengelihatan untuk sementara," kata Ramadhan di Mabes Polri, Jumat (8/9).

Berita Lainnya
×
tekid