Kontrak politik untuk capim KPK dinilai sekadar pencitraan

Rencana DPR RI mengikat para calon pimpinan KPK dengan kontrak politik menuai kritik.

Ketua Komisi III DPR Azis Syamsuddin (kanan) menjabat tangan perwakilan masyarakat sipil yang turut serta dalam rapat dengar pendapat (RDP) di ruang rapat Komisi III DPR, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (10/9/2019). Rapat tersebut digelar untuk mendengarkan masukan dari elemen masyarakat sipil terkait proses uji kepatutan dan kelayakan calon pimpinan KPK. /Antara Foto

Rencana Komisi III DPR RI mengikat para calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan kontrak politik saat mengikuti rangkaian proses seleksi uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) menuai kritik. 

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris menilai, kontrak politik bukan jaminan para capim KPK bakal berintegritas saat memimpin lembaga antirasuah itu.

"Mau tanda tangan, mau kontrak politik, tidak ada jaminan. Kalau komitmennya untuk pemberantasan korupsi itu minim, integritasnya cacat, apa yang bisa diharapkan?" kata Syamsuddin Gedung LIPI, Jalan Gator Subroto, Jakarta Pusat, Selasa (10/9).

Menurut dia, kewajiban kontrak politik para capim KPK saat uji kelayakan dan kepatutan hanya sekadar pencitraan. "Seolah-olah DPR lebih dapat menghasilkan capim KPK yang lebih baik," ujar dia. 

Terpisah, Wakil Ketua KPK Laode M Syarief mengatakan seharusnya aparat penegak hukum tidak boleh diikat dengan kontrak politik. Pasalnya, aparat penegak hukum tidak mewakili konstituen.