KontraS: UU Pengadilan HAM belum efektif beri keadilan

UU Pengadilan HAM menyusul adanya desakan masyarakat internasional atas kasus Timor Timur.

Ilustrasi. Freepik

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menilai, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2020 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) belum efektif memberikan keadilan terhadap para korban. Disebut karena beberapa faktor, seperti minimnya kehendak politik 

Hal itu, sambung Staf Advokasi KontraS, Tioria Pretty, tecermin dari isi beleid yang hanya menyalin sebagian Statuta Roma dan beberapa bagian lainnya sengaja tidak diikutsertakan. Tak menganggap kejahatan perang dan agresi sebagai pelanggaran HAM berat, misalnya.

Pun tampak dari rumitnya proses pembentukan Pengadilan HAM mengingat membentukan rekomendasi DPR dan diteruskan kepada presiden. "Banyak aspek politik yang bermain," ujarnya dalam webinar, Senin (23/11).

Faktor kedua, sambung dia, celah normatif memungkinkan penundaaan proses yang tidak perlu secara terus-menerus dalam penyelidikan, penyidikan, dan pengadilan. Imbasnya, UU Pengadilan HAM tidak bisa digunakan secara maksimal. 

Lantaran pembentukan Pengadilan HAM rumit, hanya 3 dari 15 kasus yang telah diselesaikan melalui "meja hijau" sejak regulasi tersebut disahkan. Perinciannya, peristiwa Tanjung Priok, Jakarta Utara (1984); kejadian Timor Timur; dan tragedi Abepura (2000)