KUHP belum punya terjemahan resmi, Pemerintah dan DPR digugat

Tak adanya terjemahan resmi KUHP membuat tak ada kepastian dalam penegakan hukum.

Aktivis YLBHI Muhammad Isnur, menunjukkan tiga buku terjemahan KUHP, saat mendaftarkan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat (8/1) (Robi Ardianto/Alinea).

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku saat ini belum diterjemahkan secara resmi ke dalam Bahasa Indonesia oleh Pemerintah. Dengan demikian, 70 tahun sudah KUHP yang sah masih berbahasa Belanda.

Padahal berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, setiap undang-undang wajib menggunakan bahasa Indonesia.

Saat ini, terdapat banyak versi terjemahan KUHP. Namun ketiadaan terjemahan resmi membuat penegakan hukum di Indonesia menjadi tidak pasti.

Aktivis YLBHI, Muhammad Isnur memberikan contoh pada terjemahan pasal 55, yang diambil dari tiga buku KUHP dengan penerjemah berbeda. Pertama, buku karangan R. Soesilo, pasal 55 tersebut berarti dihukum sebagai orang yang melakukan perbuatan pidana.

Kedua, berdasarkan karangan Moeljatno diterjemahkan dengan dipidana sebagai pembuat (dader) sesuatu perbuatan pidana. Sementara itu, dalam buku KUHP versi Ali Hamzah, pasal 55 diartikan dipidana sebagai pembuat delik.