Legalisasi aset dan bualan kesejahteraan Jokowi

Penggalakan legalisasi aset tanah dipercaya mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Benarkah atau hanya mitos belaka?

Presiden Joko Widodo memberikan sambutan saat pembagian sertifikat tanah kepada warga di Sentul, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa (6/3)./ Antarafoto

Presiden Joko Widodo (Jokowi) membagi-bagikan sertifikat tanah untuk rakyat di halaman Sirkuit Sentul, Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa (6/3). Bukan kali pertama mantan Gubernur Jakarta itu turun langsung mendistribusikan sertifikat tanah. Sebelumnya ia juga menyambangi masyarakat Tabanan, Bali untuk menyerahkan bukti legalisasi aset lahan mereka.

Legalisasi aset sendiri bukan program anyar, sejak 1980-an program ini digulirkan dengan harapan memfasilitasi pembangunan nasional. Promosi program tersebut menurut Dosen UII Fatkhul Wahid, dijalankan dengan menelurkan Proyek Operasi Nasional Agraria (PRONA) pada 1981 dan Layanan Rakyat Untuk Sertifikasi Tanah (LARASITA) tahun 2006.

Di era Jokowi, penerbitan sertifikat tanah untuk menjamin kepastian hukum sesuai amanat pasal 19 ayat (1) UUPA 1960, digenjot habis-habisan. Sebanyak 60 juta sertifikat ditargetkan rampung terbagi pada 2021. Bahkan Jokowi mengklaim saban hari akan menjamin pemberian sertifikat tanah pada warga. Lagi-lagi, dalil pembagian sertifikat tanah laiknya lagu lama yang dinyanyikan Soeharto pada 1980-an, yakni mendukung pembangunan nasional. Sebab, sertifikat tanah nantinya dapat diagunkan ke bank konvensional guna memperoleh kredit.

“Rakyat nantinya bisa menggunakan sertifikat tersebut untuk agunan saat meminjam uang di bank, demi menjalankan bisnis atau investasi,” celoteh Jokowi, dikutip dari Antara. Pernyataan tersebut menuai respons miring dari sejumlah pengamat agraria. Program itu sendiri dinilai gagal mencapai tujuan untuk meningkatkan pembangunan, lantaran ketimpangan tanah dan jurang kemiskinan justru makin lebar.

Menurut pengamat agraria Ahmad Nashih Luthfi, legalisasi aset yang digadang-gadang jadi jawaban reforma lahan justru kian jauh dari cita-cita itu. Sejumlah kasus ajudikasi tanah menafikan kebijakan redistribusi agraria, sebab hanya memberi pelayanan pada mereka “yang memiliki tanah”, bukan pada mereka “yang tidak memiliki tanah”.