LP3ES sebut polisi virtual berpeluang perburuk demokrasi

Polisi siber dinilai belum memproteksi para aktivis pro demokrasi

Foto Ilustrasi/Pixabay.

Alih-alih mendorong kebebasan berekspresi, polisi siber dan polisi virtual justru dinilai menciptakan persepsi ancaman, bahkan bepeluang memperburuk Demokrasi. Demikian disampaikan Direktur Center for Media and Democracy dari Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Wijayanto.

Kehadiran polisi siber dan polisi virtual, kata Wijayanto, semakin menguatkan temuan studi terbaru kebangkitan Polri di era reformasi. Tesis Jacqueline Baker berjudul The Rise of Polri; Democratisation and the Political Economy of Security in Indonesia pada 2012 mengungkap peran Polri yang semakin dominan dalam politik sipil.

“Restrukturisasi politik-ekonomi dan keamanan di Indonesia setelah reformasi itu memfasilitasi kebangkitan Polri sebagai aktor yang juga berperan dominan pada politik yang dulu diperankan ABRI,” ucapnya dalam diskusi virtual, Kamis (4/3).

Meski telah lama terbentuk, polisi siber pun belum memberikan proteksi pada para aktivis pro demokrasi yang menjadi korban kejahatan digital. Teror terhadap aktivis pro demokrasi berupa peretasan, pengawasan WhatsApp, email, hingga teror telepon pun menguap begitu saja.

Gelombang teror siber terhadap para aktivis penolak revisi Undang-Undang Nomor 30 tahun 2020 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada akhir 2019 disebutnya paling masif yang pernah terjadi di Indonesia. Bahkan, lanjutnya, gelombang teror siber pertama terhadap masyarakat sipil dengan korban paling banyak.